Review Film AAC2: Antara Ekspektasi dan Realita

Holaaa, Mak! Sebenarnya udah telat banget ya buat review film Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Secara, tayangnya pun sudah hampir 1 tahun yang lalu alias Desember 2017 kemarin. Tapi, entah seolah batin ngerasa terganggu dan sedikit menggelitik buat review film ini, apalagi salah satu tujuan dibuatnya film ini kan juga untuk mengulang kesuksesan seperti sekuelnya yang pertama. So, bagi mereka yang udah nonton Ayat-Ayat Cinta 1 pastinya bakal punya ekspektasi lebih di sekuelnya yang ke 2 ini. Penuh harapan yang menjanjikan saat menontonnya, namun nyatanya hanya sebatas khayalan.
Well, saya sendiri saat penayangan Ayat-Ayat Cinta 1 pertama kali yang muncul tahun 2008 saat itu, tepatnya pas SMA deh. Langsung memburu tiket di bioskop untuk menonton film tersebut. And then, boleh percaya atau tidak, saya sendiri nonton film itu 3x di bioskop pada hari yang berbeda. Pasalnya, ekspektasi yang saya harapkan setelah membaca novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ini cukup terbayarkan dengan realita filmnya yang tayang di bioskop. Jujur, betapa saya saat itu sangat menikmati aliran emosi dan nilai-nilai kehidupan yang cukup ‘tersampaikan’ dalam Ayat-Ayat Cinta yang pertama, baik itu melalui film ataupun novelnya. Dengan kata lain, gak mengecewakan gitu lho! Pokoknya pas banget lah.

Ayat-Ayat Cinta (2008)

Akan tetapi, kekecewaan saya mulai muncul saat film Ayat-Ayat Cinta 2. Padahal, saya sendiri gak sempat nonton langsung di bioskop dan hanya menontonnya di laptop secara download. Asli, ini sih memang saya yang gak mau modal piti, internet pun nebeng di wifi kantor wkwkwk, fakir oh fakiiir…
Lanjut, saya saat itu sepertinya memang cukup idealis untuk menonton film Ayat-Ayat Cinta 2. Karena, bagi saya pantang nonton film kalau belum baca novelnya (kalau ada), hitung-hitung buat spoiler, sambil nyamain sama apa enggak yang ada di dalam novel (apa sih?). Namun, sepertinya memang sudah ada insting kali ya buat gak nonton filmnya langsung di bioskop. Soalnya, banyak yang bilang film ini ‘NOT GOOD‘. Terlepas dari, pemain-pemainnya yang super kece, pengambilan latarnya yang keren parah, serta pengisi-pengisi soundtrack-nya yang asli high quality semua. Sampai-sampai ada yang saking illfeelnya sama film ini, mereka bilang kasihan sama Yaya udah capek-capek nulis lagu, tapi filmnya kok absurd gini.
Dilematis Antara Ekspektasi Novel dan Realita Film
Anyway, berhubung dari tadi curcol gak jelas. Karena memang awalnya setelah nonton film ini di laptop udah gondok bangeet. Kezel. Dan, tertahan cukup lama makanya pas dituangkan dalam tulisan saya jadi agak lebay hahaa. But, saya paham kemungkinan besar saat sebuah novel diangkat menjadi film pastinya di balik itu ada banyak kompromi yang kita tidak tahu seperti apa lika-likunya.
Apalagi, novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini tebalnya hampir 700 halaman. Didalamnya pula terdapat banyak konflik dan alur cerita yang panjang serta rumit. Maka, saya menganggap hal ini wajar jika terdapat banyak bagian yang dipangkas sana-sini, dan mungkin akan semakin rumit jika film ini dibumbui dengan perdebatan panjang seperti halnya yang ada di dalam novel. Maka, jika diuraikan seperti itu justru hanya akan memberikan kesan pada film ini terlalu ‘berat’ dan dapat memakan durasi yang cukup lama.

Kang abik
Habiburrahman El Shirazy, Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta 1&2

Dari sudut pandang saya, cara Habiburrahman El Shirazy atau biasa disapa Kang Abik sudah sangat mumpuni dalam meramu dan menyajikan cerita dalam novel. Dan, tidak dapat saya pungkiri, saya benar-benar jatuh cinta dalam setiap alur dan jalan cerita yang dituliskannya.
Menariknya, beliau bisa menuangkan berbagai permasalahan umat masa kini dengan dalil-dalil yang lengkap, bahasa yang indah dan mudah dicerna. Bayangkan, dengan cerdasnya Kang Abik dapat menuliskan seperti apa perbedaan pendapat fiqh tentang operasi plastik, perbedaan Yahudi dan Zionis, cara menjawab salam dari seorang non muslim dan permasalahan kontemporer umat lainnya di dalam novel ini. Namun, sayangnya saya harus sedikit kecewa karena tidak dapat menemukan gambaran utuh alur tersebut dalam film ini. Baiqlah, aku rapopo…
Secara garis besar, beberapa hal urgen yang menurut saya penting untuk diangkat dalam film, namun rupanya poin tersebut tidak saya temukan, diantaranya:

  • Gambaran penjiwaan sosok Fahri yang religius, cerdas dan teguh dalam pendirian, tidak saya temukan secara utuh dalam film ini. Malah, saat menonton film ini alurnya terasa begitu cepat dan melompat-lompat. Sehingga, pencitraan sosok Fahri dirasa kurang ‘kental’.
  • Gambaran karakter Hulya yang bagi saya agak berbeda dengan yang ada di dalam novel. Karena, sosok Hulya ini diceritakan sebagai pribadi yang ceria, cerdas, percaya diri tapi bukan GENIT. Terlebih, sosok Hulya yang dimunculkan saat awal film ini berlangsung dia justru tidak menggunakan jilbab. Otomatis, hal ini jauh dari yang disebutkan dalam novel bahwa ‘pribadinya hampir menyerupai Aisyah’ (yang jelas syar’i dan bercadar).
  • Tidak adanya gambaran konflik di awal pasca pernikahan Fahri dan Hulya yang diceritakan dalam novel. Pasalnya, setelah menikah Hulya seringkali merasa sedih karena belum ‘seutuhnya’ menjadi wanita, sampai akhirnya dia pun berbicara dari hati ke hati dengan Sabina (yang jelas-jelas Aisyah) guna meminta solusi atas segala kegundahan hatinya.
Hulya dan Fahri
Hulya dan Fahri AAC2

Sepertinya, cukup sampai segini aja review film Ayat-Ayat Cinta 2 yang ala kadarnya, namun cukup ‘menggigit’. Meski, banyak kekurangan disana-sini tapi harus tetap di apresiasi dengan bijak. Terlebih, ini adalah salah satu karya anak negeri yang ide dan orisinalitasnya terjaga. Tetaplah berkarya dan terus semangat!

Previous post Ichiyo, Sosok Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang (Review Novel)
Next post Nikmatnya Baby Treatment Bersama Cinta Homecare

8 thoughts on “Review Film AAC2: Antara Ekspektasi dan Realita

Leave a Reply

Social profiles