JAKARTA – Bagi anda yang ingin berakhir pekan di bulan Ramadhan bersama keluarga tercinta dan ingin mengunjungi sejumlah tempat yang sarat dengan nilai-nilai spiritual. Kini, tidak ada salahnya anda mencoba untuk mengunjungi salah satu masjid yang sangat menarik ini, yakni Masjid Cut Meutia.
Mungkin bagi anda yang sering melewati kawasan Menteng, tentunya tidak kesulitan untuk menemukan masjid yang namanya cukup tersohor ini lantaran nilai-nilai sejarah yang terdapat didalamnya.
Mengingat, wujud fisik bangunan Masjid Cut Meutia tersebut tidak seperti masjid kebanyakan umumnya. Dari luar terlihat, bangunan ini tidak memiliki kubah ataupun menara yang umumnya menjadi ciri khas dari suatu masjid. Menariknya, beberapa hal yang dapat diketahui sebagai petunjuk bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan masjid adalah terdengarnya kumandang adzan pada waktu shalat dan tulisan besar nama masjid yang terdapat persis di depan gerbang pintu masuk.
Adapun sejarah yang melatarbelakangi munculnya bangunan tersebut menjadi masjid rupanya cukup panjang dan berliku. Dimana pada Awalnya bangunan yang berlokasi di Jl. Taman Cut Meutia No.1, Jakarta Pusat ini merupakan kantor NV De Bouwpleg atau lebih tepatnya merupakan markas para arsitek Belanda pada masa itu.
Pada Awalnya bangunan yang berlokasi di Jl. Taman Cut Meutia No.1, Jakarta Pusat ini merupakan kantor NV De Bouwpleg atau lebih tepatnya merupakan markas para arsitek Belanda pada masa itu
“Awalnya sebagai gedung arsitek Belanda yang tujuan utamanya pada saat itu untuk membangun kota Menteng,” ujar Koko, Kepala Pengurus Harian Masjid Cut Meutia di ruangannya.
Selain para arsitek, kata dia, dilantai dua gedung tersebut berkantorlah Jendral van Heuis. Koko menjelaskan, gedung NV De Bouwpleg merupakan bangunan bertingkat pertama yang didirikan di kawasan Menteng. Kemudian, setelah Belanda meninggalkan Indonesia, gedung tersebut digunakan sebagai Markas Besar Angkatan Laut Jepang pada Perang Dunia ke II.
Lalu, tepatnya pada tahun 1959 sampai 1960 gedung tersebut difungsikan sebagi kantor Wali kota Jakarta Pusat, yang kemudian berlanjut menjadi kantor PAM, kantor dinas Urusan Perumahan Jakarta dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada era kepemimpinan Abdul Haris Nasution.
Dia menambahkan, selanjutnya setelah MPRS berpindah ke kawasan Senayan, gedung tersebut diwakafkan kepada angkatan 66 yonif Yos Sudarso untuk dimanfaatkan sebagai tempat beribadah. Kendati demikian, perjalanan bangunan tua arsitek Belanda ini menjadi Masjid Cut Meutia masih terus berjalan.
Dalam waktu kurang lebih 17 tahun gedung yang digunakan sebagai tempat ibadah ini pun terus berlangsung, tanpa adanya status pemanfaatan Masjid yang jelas. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1987 dengan SK Gubernur No. 5184/1987 Tanggal 18 Agustus, gedung NV De Bouwpleg secara resmi disahkan menjadi masjid tingkat propinsi. Dan adapun nama Cut Meutia sendiri diperoleh dari nama jalan yang berada di dekat bangunan tersebut berdiri.
“Penamaan masjid sesuai dengan nama kanan-kiri jalan, karena jalan Cut Meutia jadi namanya Masjid Cut Meutia,” terang Koko.
Dan, hingga saat ini, Masjid Cut Meutia berada dibawah naungan dinas museum dan sejarah. Pasalnya, sejak tahun 1961 bangunan tersebut resmi menjadi gedung yang dipelihara dan dilindungi untuk aset cagar budaya. Sehingga, dalam pemeliharaannya bangunan ini tidak ada yang dirubah, melainkan hanya diperbolehkan untuk dilakukan renovasi dan penambahan sejumlah fungsi bangunan, salah satunya seperti kamar mandi dan tempat wudhu serta pemotongan sebagian anak tangga yang kemudian ditempatkan di luar.
Tepatnya renovasi tersebut berlangsung pada tahun 1984 secara besar-besaran guna memberikan kesan luas pada kawasan sekitar masjid. Sehingga, kawasan dalam masjid yang awalnya tidak memiliki halaman parkir, kini terlihat cukup luas lantaran adanya renovasi tersebut. Terlebih, Masjid Cut Meutia ini merupakan salah satu destinasi wisata kota religius yang banyak dikunjungi masyarakat karena letaknya yang strategis di tengah kota serta jaraknya yang relatif mudah ditempuh, tutur Koko.