Site icon Catatan Ludy

Teguran Satu Menit, Strategi Jitu dalam Mendidik Anak

Gaya parenting

“Cara marah kepada anak yang tepat dan aman adalah menunjukkan teguran dan kasih sayang sekaligus.”

Irawati Istadi

Hidup di kota besar dengan segala dinamikan didalamnya, membuat saya sebagai IRT khususnya harus cermat dalam melihat pintu-pintu rezeki dari rumah. Dan, nyambi menjalani hobi yang dibayar adalah pilihan saya saat ini sebagai orang tua millenial. Oleh sebab itu, kudu pinter-pinter memanage waktu, karena jika tidak hanya akan memicu hadirnya emosi yang meluap-luap pada diri akibat kurangnya waktu tidur. Jika sudah begitu, yang akan kena imbasnya otomatis adalah anak dan suami di rumah, hihihii (maafkan ya pak).

Lantas, sembari mengurus pekerjaan domestik di rumah, pastinya saya juga ikut membersamai si kecil saat bermain dan beraktivitas sehari-hari. Tak jarang, si kecil kerap membuat saya jengkel bahkan sampai menangis, lantaran bingung harus bersikap bagaimana saat menghadapinya. Maksud hati, tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan hingga menguras energi hanya untuk marah-marah. Disamping, si kecil juga memang belum paham sepenuhnya maksud mamaknya ini. Tentunya, kalau pun marah-marah enggak akan berarti apa-apa, justru hanya akan melukai perasaan si kecil bahkan dapat memberikan ingatan yang buruk akan perlakuan ibunya terhadap dirinya. Hiks, jadi serba salah kan!

Pictured by pexels.com

Memaknai Pelaku dan Perilaku Sebelum Menegur

Next, dari kondisi ini pun saya jadi teringat dengan tulisan Mba Irawati Istadi dalam bukunya yang berjudul Mendidik dengan Cinta. Pemaparan yang beliau sampaikan dalam bukunya ini menarik banget buat disimak, khususnya untuk para orang tua millenial jaman now. Dan, dalam konteks ini beliau mengajak pembacanya untuk memaknai pelaku dan perilaku terlebih dahulu sebelum menegur anak. Lho, memangnya kenapa Mak?

Jadi begini, menurut beliau agar bisa memahami metode pendidikan disiplin terhadap anak, para orang tua ini harus bisa membedakan terlebih dahulu antara “Perilaku” dan “Pelaku”. Mengingat, “Perilaku” ini sendiri adalah aktivitas yang sedang dilakukan oleh si anak, seperti Budi memukul anjing, sedangkan “Pelaku” adalah orang yang tengah melakukan sesuatu. Sehingga, dalam hal ini Budi sebagai “Pelaku” dan memukul adalah “Perilaku”-nya.

Adapun, poin berikutnya yang harus para orang tua ini pahami adalah “perilaku” dan “pelaku” dalam konteks ini tidak selamanya memiliki konotasi yang sama. Dalam artian, saat Budi memukul bukan berarti Budi adalah anak yang sangat nakal. Dan, orang tua tidak boleh seenaknya menjudge Budi dengan konotasi buruk demikian. Bisa jadi, saat kondisi itu Budi memang sedang dalam kondisi khilaf atau lupa hingga melakukan perbuatan tersebut.

Lantas, perlu diingat baik-baik, pada hakikatnya anak-anak tetaplah sosok yang baik dan penurut, yang mana kemudian akan tetap kembali pada “Perilaku” positifnya. Maka, para orang tua tidak boleh seenaknya menjudge anak dengan penilaian yang buruk seperti nakal dan bandel. Dan, sekali lagi, yang buruk itu adalah “Perilaku”-nya bukan “Pelaku”-nya yaitu anak sendiri, sehingga individunya harus tetap kita jaga dan sayangi sebagai orang tua. Anyway, sejatinya so sweet banget lho anak-anak itu, hiks.

Mengoptimalkan Teguran Satu Menit

Dalam buku Mendidik dengan Cinta, dijelaskan dengan gamblang bahwa saat melakukan teguran satu menit ini, di setengah menit pertama orang tua harus terlebih dahulu menegur perilaku anak yang keliru. Intinya, to the point aja dan tunjukkan kalau ayah atau bunda merasa kecewa dan marah atas sikap sang anak. Namun, dengan catatan tidak boleh mencela pelakunya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Karena, dalam situasi ini orang tua secara tidak langsung tengah “menyadarkan” si anak bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah tindakan yang salah.

Kemudian, setelah itu orang tua tidak perlu lagi mengulangi kata-kata yang telah diungkapkan pada setengah menit pertama tadi. Cukup diamkan saja selama beberapa detik, which is tujuannya agar si anak sadar akan kesalahannya dan bisa memahami perasaan orang tuanya. Sehingga, perasaan “tidak enak” ini pun muncul dalam hati kecil si anak. Adapun, jika orang tua terus mengulang kata-kata di setengah menit pertama tadi, maka yang akan didapat ialah anak akan merasa bosan dan seolah digurui. Otomatis, hal itu tidak akan membuat si anak “nyambung” dengan maksud kita, malah sebaliknya. Justru, si anak ini akan memberontak pada orang tuanya. Nah lho, malah makin parah kan? hehee.

After this, di setengah menit kedua ini, orang tua perlu mengungkapkan kebenaran bahwa sejatinya anak-anak ini adalah anak yang selamanya akan tetap bersikap baik dan shalih. Dan, pastinya para orang tua ini (termasuk saya) saat menyampaikannya harus disertai pula dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kelembutan dan penuh kasih sayang. Tujuannya yaitu agar si anak bisa merasakan secara langsung bahwa bagaimanapun kesalahan yang telah mereka perbuat, orang tua akan selalu mencintai mereka dengan cara yang benar. Seperti itu definisi cinta orang tua yang sebenarnya (jadi makin melting, hiks). Sehingga, diharapkan di setengah menit kedua ini anak akan kembali pada sisi positifnya sekaligus mendapatkan motivasi lebih untuk bisa berbuat baik setiap waktu. Maybe, bisa dikatakan harga dirinya terjaga dan kembali semangat untuk terus mengembangkan citra positifnya.

Conclusion…

Well, teguran satu menit ini dikatakan efektif apabila benar-benar dilakukan dalam waktu hanya satu menit. Dan, adapun jika lebih, itu sih jelas namanya bukan teguran satu menit tapi malah ngomelin, hehe. By the way, berdasarkan survey cara ini telah terbukti lho sangat efektif dan hasilnya juga memuaskan dalam mengkomunikasikan permasalahan antara anak dan orang tuanya. Khususnya, bagi para orang tua yang sibuk dan memiliki waktu yang terbatas.

Finally, menunjukkan dua perasaan yang saling bertentangan dalam waktu satu menit sekaligus bukanlah hal yang mudah. Justru, itulah letak tantangan orang tua yang sebenarnya saat mengendalikan emosi di depan anak-anak mereka. Maka, tarik napas dalam-dalam, lalu buang jauh-jauh energi negatif tersebut sampai tidak ada satupun yang tersisa. Lalu, yakinlah bahwa anak-anak dapat mengerti meski hanya sekali mendengar tanpa ada pengulangan. Jika masih kurang, maka wudhu dan duduklah, kembali netralkan perasaan dan selamat menikmati hasilnya. Semoga bermanfaat, salam waras!

Ludy