Akhir-akhir ini, publik tengah dikejutkan dengan adanya kasus penguburan hidup-hidup sosok bayi perempuan berusia 5 bulan oleh ibu kandungnya sendiri. Seketika, hal ini pun banyak menuai keprihatinan dari berbagai pihak, khususnya kaum ibu, sekaligus hinaan dan sumpah serapah yang ditujukan pada sang ibu korban. Dalam diam, saya bertanya dari lubuk hati yang paling dalam. Apakah kalian tahu apa yang sebenarnya sang ibu ini tengah alami dan rasakan? Hingga akhirnya tega mengubur darah dagingnya sendiri secara hidup-hidup.
Sungguh ironi memang, hal ini pun perlu menjadi cerminan sekaligus tolak ukur bagi diri kita, sembari mengingat sudahkah kita peduli pada rekan atau saudara yang usai melahirkan? Sehingga, dengan adanya kepedulian kita ini dapat memperkecil adanya kemungkinan munculnya kasus yang memilukan nurani seperti ini. Haru sekaligus miris, pikir benak saya saat ini.
Sebagai seorang ibu, bohong rasanya jika saya tak mengakui sempat merasakan adanya ancaman baby blues ini pasca melahirkan beberapa tahun yang lalu. Meski pahit untuk diakui, namun berpura-pura untuk merasa bahagia tentunya juga lebih menyakitkan bukan? Mengingat, tingkat hormonal yang dialami oleh ibu-ibu pasca melahirkan ini 2x lipatnya cewek-cewek yang lagi PMS lho gaes! Sehingga, sekali senggol aja, rentan banget berpeluang stress hingga depresi berlebih.
Nah, ternyata oh ternyata STRESS dan DEPRESI ini beda banget lho gaes…
Kok bisa sih? Yaiyalah, padahal kita selama ini ‘mungkin’ memaknai stress dan depresi adalah dua hal yang sama. Padahal, dalam kenyataannya sangat berbeda. Lantas, apa sih perbedaannya?
Depresi sendiri merupakan sebuah penyakit mental yang dialami seseorang dan acapkali bukan disebabkan karena faktor eksternal lainnya, seperti jatuh miskin, patah hati, dan lainnya. BUKAAANNN! Melainkan, karena faktor psikologis, hormonal dan penyakit lainnya yang diduga dapat memicu hadirnya depresi ini. Bahkan, mirisnya lagi depresi ini dapat menjangkiti orang yang relijius sekalipun. Pasalnya, selama ini mungkin kita selalu mengira bahwa depresi ini hadir lantaran ’emang dasarnya aja mereka lemah, baperan, susah move on, dan cengeng gak karuan.’
Adapun, depresi ini justru dinilai lebih parah ketimbang stress. Karena, depresi yang tengah dialami oleh seseorang cenderung akan stay lebih lama, meskipun orang tersebut sedang refreshing dan memiliki segala hal dalam kehidupannya. Sedangkan, stress dinilai lebih cepat hilang seiring dengan upaya penyelesaian masalah yang tengah dihadapi oleh orang tersebut. Bahkan, dapat hilang dengan aktivitas liburan sekalipun. Itulah stress, yang selama ini kita maknai sama dengan depresi, padahal pada kenyataannya justru jauh berbeda.
Lantas, adapun baby blues ini nyatanya lebih ringan dibanding dengan rasa depresi itu sendiri. Mengingat, depresi pasca melahirkan atau kerap disebut postpartum depression (PPD) ini dapat lebih membahayakan sang ibu dan bayinya. Dimana tingkat hormonal dan psikologis cukup mempengaruhi seorang ibu untuk bertindak di luar kesadarannya kala itu.
Baca juga: Menguak Solusi Hidup Melalui Pikiran Ala Meuthia Z. Rizki
Jujurly, ini cukup mengerikan dibanding dengan apa yang kita pikirkan selama ini. Bagaimana tidak? Berdasarkan penelitian, orang yang tengah mengalami PPD ini dalam pikirannya seringkali muncul halusinasi dan delusi (monggo, searching ya mak!), sehingga menyebabkan diri mereka tidak sadar dengan apa yang sedang dilakukannya. Dan, kerap melakukan hal yang berbahaya seperti melukai diri sendiri dan bayinya hingga berujung pada tindakan bunuh diri. Tragis memang, dan hal inilah yang seharusnya kita minimalisir kehadirannya sejak awal menikah dan hamil, yakni MEMPERSIAPKAN MENTAL.
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati
Ungkapan diatas nyatanya sangat tepat jika dikaitkan dengan pentingnya antisipasi psikis yang harus dilakukan pada ibu-ibu pasca melahirkan ini. Pasalnya, menurut data Journal Medika tahun 2009 menyebutkan ada sekitar 80% ibu di Indonesia mengalami depresi pasca melahirkan dan 75% diantaranya terjadi pada perempuan yang baru pertama kali mengalami kehamilan. Whaattt, 75% ini angka yang cukup fantastis bukan? Dan, dalam konteks ini kita perlu memberikan pemakluman sebesar-besarnya ya kepada ibu-ibu newbie ini.
Kenapaaa???
Karena, pada pertama kalinya pula tubuh membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi selama proses kehamilan itu sendiri hingga kemudian melahirkan. Dimana, selama hamil kadar hormon progesteron dan estrogen meningkat cukup tajam yang disebabkan oleh plasenta yang menghasilkan hormon tersebut. Lalu, ketika usai melahirkan, kedua hormon ini pun menurun cukup drastis, yakni kembali seperti sebelum proses kehamilan dimulai. Maka dari itu, perubahan hormonal yang cukup tajam inilah menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi tingkat kewarasan ibu-ibu newbie ini. Disamping, secara fisik dan psikis pastinya mereka sangat merasakan kelelahan yang luar biasa, hiks.
So, saya pribadi pun juga merasakan hal yang demikian. Terlebih, kondisi orang tua yang nyatanya tidak sejalan dengan prinsip dan pemahaman yang kita anut. Aseliii, itu lebih sulit dan menyakitkan banget Mak! Maksud hati, eh salah suami deng. Paksu ingin agar kita bisa mandiri sembari menikmati masa-masa menjadi orang tua baru. Bagi dia, tak apalah ambil cuti cukup lama sing penting doi bisa merawat istri dan anaknya sesuai dengan insight yang kita pahami selama ini.
Namun, sayang seribu saya, kenyataannya justru berbeda jauh. Orang tua saya, khususnya ibu dalam hal ini justru ingin keberadaannya lebih mendominasi, alias dia pengen lebih dekat sama cucunya. Dan, tentunya pake cara emak-emak jaman old (versi keluarganya), yang mana termasuk didalamnya ada unsur syiriknya gitu, kayak taruh gunting, bangle sama sapu lidi lah dekat tempat tidurnya si kecil. Terus, pake “ritual” gak jelas lah buat nguburin ari-ari segala.
Sumpah, ini nih yang bikin gerah dan stress berkali-kali lipat. Gimana enggak stress cobaaakk? Segala hal harus sesuai dengan mau dan caranya ibu. Terlebih, saat itu beliau hanya memperbolehkan saya menggendong si kecil saat nyusuin aja dan pas tidur. Selebihnya sama ibu, otomatis melihat hal itu paksu pun sempat geram dan tidak terima dengan situasi ini. Hiks, sabar ya pak! Dan, lambat laun akhirnya saya pun memutuskan resign dari kerjaan agar semata-mata bisa membuktikan kepada ortu bahwa saya ingin ‘TOTAL’ mengasuh si kecil beserta adek-adeknya kelak. Wuihhh, so, inilah langkah awal yang akhirnya membuat saya makin greget buat lebih mandiri lagi dalam mengurus keluarga, khususnya anak. Meski, dalam hati masih jerit-jerit belum rela wkwkkw.
Nah, pada tulisan kali ini saya ingin sedikit berbagi tips mengantisipasi hadirnya stress pasca melahirkan. Dimana, dalam hal ini berdasarkan pengalaman saya pribadi dan observasi dari beberapa pengalaman teman-teman lainnya yang pernah mengalami hal serupa. Meski, saya pribadi enggak sampe stress-stress banget, paling nangis-nangis pake nyesek gitu doang sih. Terus, habis itu cerita ungkapin semua isi hati dan setelahnya dipeluk paksu deh hehe. Asli, cara ini dijamin ampuh. Well, daripada makin panjang lebar enggak jelas, ini dia selengkapnya:
- Menyiapkan mental dan hati 2x lipat saat pertama kali mengetahui tengah berbadan dua. Bukan tanpa alasan, karena dengan kita menyiapkan mental dan hati dengan sebaik-baiknya, itu artinya kita sudah siap dengan segala risiko dan tanggung jawab yang kelak akan kita hadapi bersama suami.
- Selama proses kehamilan berlangsung, upayakan selalu agar diri kita selalu happy. Salah satunya, dengan melakukan hal-hal yang kita sukai, entah itu berupa hobby, makanan, daily activity dan masih banyak lagi.
- Usahakan untuk sebisa mungkin menjauhi beragam macam ‘TOXIC’ yang ada di sekitar kita. Dimana, ‘TOXIC’ ini jenisnya seperti pekerjaan yang menguras hati+emosi, keluarga yang minim support, teman-teman yang rese, dan masih banyak lagi.
- Jauhkan diri kita dari rasa was-was atau parno berlebih. Misalnya, khawatir jika kondisi si kecil nantinya terlahir cacat, takut dengan cemohan orang jika tidak bisa melahirkan secara normal, parno badan makin melar pasca melahirkan (takut jelek), dan lain-lain.
- Bagi suami, harap buka telinga lebar-lebar untuk selalu mendengarkan segala keluh-kesah istri andaaah selama hamil. Dan, kita sebagai perempuan kudu sadar diri juga, enggak usah sok setrooong kalau memang enggak kuat dengan segala beban yang tengah dirasakan. Luapkan saja semua keluh kesahmu, jadikan suami sebagai ember yang kapanpun siap menampung segala uneg-uneg kita. Please deh, daripada ditahan-tahan dan jadi bom waktu di kemudian hari, pastinya enggak mau kan? Banyak lho, penyakit yang bersumber dari pikiran. Jadi, please ya Mak, udah deh TERBUKA saja. Keluarkan semua uneg-uneg pada suami. Anyway teruntuk paksu, kudu siap ya pak!
- Sebagai bumils, kita kudu TEGAS sama diri sendiri. Enggak usah maksa, daripada ujung-ujungnya jadi dzalim sendiri. Well, kalau memang enggak mampu, please jangan maksa. Udah gitu aja.
- Tingkatkan PRIVATE, baik dengan tidak mengumbarnya di medsos atau bahkan curcol sana-sini. Terlebih, secara mental memang enggak siap dengan komentar orang yang negatif atau bahkan enggak suka dikepoin. Jadi, apapun itu di keep aja dulu sementara waktu. Disamping, sebagai bumils dan busui pastinya membutuhkan ketenangan yang kemudian berpengaruh banget secara psikis biar bisa tetap happy. Sederhananya, emak senang baby pun ikut senang.
- Jangan menghendaki sesuatu yang mana kamu enggak suka. Cobalah untuk memandang segalanya lebih realistis dan fleksibel. Hal ini penting, semata-mata untuk menenangkan hati dan pikiran kita agar tetap waras.
- Cari ilmu sebanyak-banyaknya, khususnya seputar agama, perawatan bayi dan pola asuh. Pokoknya kudu punya prinsip dalam hal pengasuhan anak. Dengan kata lain, prinsipnya adalah kita orang tuanya dan kita pula lah yang tahu apa yang terbaik untuk anak-anak kita. Jadi, please kudu TEGAS dan enggak usah bertele-tele. Toh, hadirnya perbedaan itu wajar kan. Tinggal bagaimana sikap kita dalam menyikapinya, kudu open, tegas pada prinsip yang kita anut dan nrimo dengan adanya perbedaan itu.
Baca juga: 5 “Kenikmatan” yang Sulit Dirasakan Pasca Melahirkan
Well, hamil dan melahirkan sejatinya adalah dua proses yang seyogyanya dinikmati dan disyukuri sebaik mungkin. Terlebih, bagi para orang tua baru. Saya rasa, perlu banget adanya pembinaan mental dan edukasi dari pemerintah untuk para calon orang tua ini sebelum menikah khususnya. Dimana, tujuan utamanya ialah untuk meminimalisir adanya RASA YANG MENGANCAM PASCA MELAHIRKAN. Dan, perlu dilakukan dalam waktu yang cukup intens, yakni selama beberapa bulan, bukan malah dilakukan dalam waktu yang teramat singkat (seperti pembekalan yang dilakukan KUA saat ini). Bahkan, lebih baik lagi dibuat kurikulumnya dan ada ‘ujian’ khusus, hehe.
Adanya pembekalan ini penting banget digalakkan secara massive dan menyeluruh oleh pemerintah, mengingat dampak yang kelak akan ditimbulkan jika tidak adanya sarana edukasi seperti ini. Intinya sih, harus terprogram semaksimal mungkin demi melahirkan generasi-generasi terbaik nantinya. Lantas, sadarkah kita bahwa pelaut ulung tidak akan lahir dari laut yang tenang? Begitupun juga dengan generasi kita berikutnya. Sekali lagi, emak senang baby pun ikut senang. Semoga bermanfaat, salam waras!