Site icon Catatan Ludy

Kakek-Nenek Memanjakan Cucu, Salahkah?

Cemas. Itulah perasaan yang tengah dihadapi Nuri saat mendapati tingkah laku Nina, anaknya yang akhir-akhir ini semakin sulit diatur. Sejak kecil, Nina memang sudah terbiasa hidup serba ada dan apapun pasti dituruti oleh keluarganya, baik itu pada ayah dan bundanya. Terlebih, pada sang Kakek dan Nenek. Maklum saja, pekerjaan Nuri dan suaminya sebagai PNS seringkali mengharuskan mereka untuk dinas keluar kota sehingga si kecil mau tidak mau dititipkan pada Kakek-Neneknya. Meski begitu, Nuri selalu berusaha untuk tidak pernah luput memberikan perhatian sekecil apapun pada anaknya. Namun, tindakannya tersebut acapkali tidak memberikan pengaruh apapun pada si kecil. Lantaran, si Kakek-Nenek ini terlalu mendominasi dan cenderung posesif terhadap cucunya.

Di satu sisi, Nuri merasa tidak bisa leluasa dalam mendidik dan mengontrol perilaku anaknya tersebut. Mengingat, jika sedikit saja melihat Nina mengadu bahkan sampai menangis pada keduanya, pasti Nuri dan suaminya lah yang kerap disalahkan. Miris. Maksud hati ingin mendidik si kecil dengan pola asuh yang kita inginkan, justru malah berbuah pertikaian dengan si Kakek-Nenek. Tak lebih, karena perbedaan pendapat dan sikap dominan yang ditunjukkan oleh keduanya. Lantas, sebagai orang tua sikap terbaik apakah yang mesti dilakukan oleh Nuri dan suami? Khususnya, dalam menghadapi sikap Kakek-Nenek yang terlalu memanjakan cucunya ini.

Moms, tanpa kita sadari isu ini merupakan hal yang sangat familiar dan erat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Kenapa tidak? Dari contoh kasus di atas kita dapat bercermin pada diri masing-masing, betapa dilematisnya kaum ibu ini saat ingin bisa tetap fokus di ranah karir. Kendati, di satu sisi dalam benak kita pastinya menginginkan model pengasuhan yang tepat dan sesuai dengan apa yang kita cita-citakan. Akan tetapi, pada kenyataannya justru kita malah terbentur dengan terbatasnya waktu untuk mendidik si kecil lantaran bekerja ataupun kesibukan lainnya. Sehingga, mau tidak mau kehadiran Kakek-Nenek inilah yang mengambil peran lebih dalam kehidupan sang cucu tercinta.

Lantas, sebagai orang tua kita kudu piye menghadapi situasi seperti ini?

KULWAP WAG ORAMI: Anak Dimanja Kakek Nenek

Pada kesempatan ini saya ingin merangkum sejumlah catatan penting yang saya dapatkan dari Kulwap WA Grup Orami pada Rabu (19/6) pekan lalu dengan tema Anak Dimanja Kakek Nenek. Which is, temanya ini related banget sama kehidupan keluarga guheee gaes, jadi rasanya menarik banget untuk saya tuliskan sebagai reminder pribadi di blog ini. Adapun, pengisi materinya sendiri adalah Mba Pramudita Tungga Dewi, M.Psi, Psi. adalah seorang psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada. Saat ini Beliau aktif praktik sebagai associate di APDC (Analisa Personality Development Center). So, are you ready for KULWAP? Check this out…

Pandangan masyarakat terhadap pola asuh yang diterapkan oleh Kakek-Nenek kepada cucu kini telah berubah. Dahulu pola pengasuhan Kakek-Nenek dipandang memiliki pengaruh buruk, karena mereka cenderung ikut campur terhadap pola pengasuhan ibu dengan menerapkan cara-cara kuno dalam mendidik anak. Berikut beberapa bukti pendukung yang disampaikan oleh Staples dan Smith (1945), mereka menemukan bahwa nenek lebih bersikap keras dan otoriter daripada ibu. Namun pandangan mengenai pengasuhan anak berubah secara perlahan pada era 1950an.

Townsend (1957) melaporkan bahwa saat ini Kakek-Nenek lebih toleran dan lemah lembut kepada para cucu. Sikap lemah lembut dan memanjakan cucu ini adalah suatu bentuk reaksi Kakek-Nenek dalam melawan image negatif tentang pola pengasuhan yang keras dan otoriter mereka di mata masyarakat sebelumnya. Sebagai seorang Kakek-Nenek mereka mengungkapkan bahwa mereka akan tega terhadap anak-anak mereka, namun mereka tidak tega melihat cucu mereka dihajar/dididik dengan keras.

Saat ini peran Kakek-Nenek adalah lebih sebagai pembantu/penolong dalam mengasuh cucu daripada penegak kedisiplinan dalam keluarga yang bersikap keras dan otoriter demi mendisiplinkan anggota keluarga lainnya.

Tipe Kakek-Nenek Menurut Bernice Neugarten

5 tipe Kakek-Nenek menurut Bernice Neugarten:

  1. Formal Grandparent (Kakek-Nenek Formal)
    Formal grandparent adalah konsep mengenai Kakek-Nenek yang paling sering kita fikirkan. Kakek-Nenek tipe ini berupaya untuk menjaga keseimbangan peran mereka dalam keluarga dengan menjadi pendengar yang baik bagi orangtua saat mereka dibutuhkan. Mereka juga berusaha menguatkan hubungan antara orangtua dan anak. Mereka sangat berhati-hati dan berusaha untuk tidak terlalu melampaui batas/memaksa, serta selalu mendukung peraturan yang diterapkan oleh orangtua terhadap cucu mereka.
  2. Fun Seeker (Pencari Kesenangan). Kakek-Nenek tipe ini adalah Kakek-Nenek yang berfokus pada bagaimana membuat cucu mereka senang. Mereka merencanakan berbagai kegiatan menyenangkan yang akan mereka lakukan bersama cucu mereka. Para cucu tahu bahwa mereka akan bersenang-senang ketika bersama dengan Kakek-Neneknya. Namun hal yang perlu diperhatikan oleh Kakek-Nenek tipe ini adalah, bagaimana mereka menjaga agar kesenangan yang telah direncanakan tidak bertentangan dengan berbagai peraturan/pola asuh yang telah diterapkan orangtua terhadap para cucu. Mereka juga harus memperhatikan kondisi diri jangan sampai demi menyenangkan cucu, mereka sampai memaksakan diri hingga kelelahan.
  3. Surrogate Parent (Pengganti Orangtua). Peran Kakek-Nenek disini adalah mengambil alih peran orangtua dalam mengasuh anak. Hal ini biasa terjadi saat orangtua menghadapi kondisi tertentu seperti saat orangtua merasa kuwalahan dalam menghadapi dan mendidik anak mereka, atau saat orangtua sedang mengalami isu tertentu seperti menjadi pecandu obat terlarang, meninggal, dll. Kakek-Nenek dengan tipe ini harus mencari dukungan bagi diri mereka sendiri untuk menghindari burn out dalam pengasuhan anak. Sebagai pengganti figure orangtua terhadap cucu, mereka perlu membuat aturan kedisiplinan demi kemajuan dan masa depan cucu mereka.
  4. Reservoir of Family Wisdom (Gudang Kebijaksanaan Keluarga). Tipe ini berperan sebagai pemegang kewenangan dan pemberi masukan pada seluruh anggota keluarga yang sering diperankan oleh kakek, namun tidak jarang juga nenek yang memerankan peran ini. Bahkan Kakek-Nenek tipe ini masih tetap mengontrol perilaku anak mereka yang sudah dewasa. Kakek-Nenek tipe ini harus belajar menghargai batasan dan tidak terlalu melampaui batas hubungan antara orangtua dan anak.
  5. Distant Figure (Figur Jauh). Kakek-Nenek tipe ini memiliki peran yang sangat kecil pada kehidupan cucu mereka. Biasanya mereka hanya berjumpa dengan cucu saat liburan atau acara tertentu saja. Sebaiknya kakek nenek tipe ini lebih berusaha untuk terlibat dan dekat dengan cucu, serta memastikan bahwa jarak bukanlah penghalang bagi hubungan antar Kakek-Nenek dan cucu.

Betul yaa.. Kakek-Nenek Fun Seeker hanya berorientasi bagaimana menyenangkan cucu mereka tanpa banyak pertimbangan bagaimana dampak yang akan ditimbukan dari sikap memanjakan Kakek-Nenek terhadap cucu mereka.

Tentang Sikap Memanjakan Cucu

Dalam kehidupan sehari-hari “memanjakan” dipersepsikan berbeda-beda oleh tiap orang. Ada yang memandang dari sisi positif, “memanjakan” dipandang sebagai suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh Kakek-Nenek untuk menunjukkan kepada cucu betapa berartinya mereka bagi Kakek-Nenek. Sedangkan dari sisi negatif, “memanjakan” dipandang sebagai suatu tindakan berlebihan dengan memberikan segala sesuatu, baik yang diminta ataupun tidak diminta secara langsung oleh cucu tanpa memandang batasan dan peraturan yang telah diterapkan orangtua, serta dampak baik buruknya bagi cucu mereka.

Tipe Kakek-Nenek Memanjakan Cucu

Super shopper grandparents. Kakek-Nenek yang terlalu excited dan berlebihan dalam berbelanja barang-barang untuk cucu mereka.

Good-giving grandparents. Kakek-Nenek yang memiliki keinginan kuat untuk memanjakan cucu dengan cara memberikan jajanan (unhealthy snack, cokelat, permen, ice cream, dll) yang disukai oleh para cucu. Chambers, dkk (2017) mengungkapkan bahwa tanpa disadari hal ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan para cucu tersebut. Bahkan yang paling parah, tindakan ini dapat meningkatkan resiko anak terkena kanker.

Permissive grandparents
Kakek-Nenek yang memiliki pandangan pola asuh yang berbeda dengan orangtua. Mereka sering kali melindungi cucu ketika orangtua sedang menerapkan peraturan dan mendisiplinkan cucu mereka. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya rasa hormat anak terhadap kedua orangtuanya.

The bottom line
Kakek-Nenek yang kurang perhatian kepada cucu. Mereka tidak memikirkan bagaimana cara untuk meningkatkan kelekatan dengan cucu mereka. Sehingga Kakek-Nenek ini terlihat kurang peduli terhadap apapun yang dilakukan oleh cucu mereka.

Tips dan Solusi

Solusi komunikasi mungkin terdengar sepele dan sangat biasa. Namun komunikasi merupakan poin utama yang perlu diperhatikan dalam menyamakan pandangan pola asuh anak antara orangtua dengan Kakek-Nenek. Kakek-Nenek yang lebih berpengalaman dalam membesarkan anak tentu memiliki pandangan dan pola asuh tersendiri yang ingin diterapkan kepada cucu mereka. Di sisi lain orangtua anak yang baru menyandang peran sebagai orangtua juga memiliki idealisme pola asuh tersendiri sesuai dengan ilmu parenting terkini yang mereka pahami. Hal ini tentunya akan menjadi isu tersendiri ketika kakek-nenek, anak, dan orangtua saling berinteraksi pada situasi dan lingkungan yang sama.

Menyampaikan bagaimana pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anak beserta perkembangannya secara berkesinambungan kepada Kakek-Nenek akan membuat Kakek-Nenek sedikit banyak paham bagaimana kebiasaan cucu mereka di tangan orangtua mereka. Sehingga komunikasi dapat menjadi filter bagi Kakek-Nenek dalam menerapkan pola asuh/bersikap saat bersama dengan cucu mereka.

Proses komunikasi ini harus diawali dengan kesepakatan dan kekompakan antar kedua orangtua (ayah-ibu). Ayah dan Ibu dapat saling bekerjasama dalam mengkomunikasikan pola asuh yang mereka terapkan pada anak mereka dengan menyampaikan kepada masing-masing orangtua (Kakek-Nenek). Ayah kepada orangtua ayah, dan ibu kepada orangtua ibu. Karena isu pola asuh cukup sensitif, akan lebih baik jika orang terdekat (anak sendiri) yang menyampaikan kepada orangtua (Kakek-Nenek). Sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lebih baik dan meminimalisir ketersinggungan antar satu dengan yang lain.

Mengkomunikasikan hal penting dan krusial yang terjadi pada anak kepada Kakek-Nenek akan membuat Kakek-Nenek lebih aware dan bijak dalam bersikap. Misalnya saat anak sakit, ceritakan penyebab, dan dampak yang terjadi. Contoh konkritnya anak sakit radang tenggorokan setelah makan cokelat hingga harus dibawa berobat ke dokter. Anak tidak akan mau berhenti main gadget bila sekali diberi gadget, hingga tantrum bila dipaksa berhenti main gadget.

Poin penting yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah, mengkomunikasikan saat kejadian tersebut sedang benar-benar terjadi atau sesaat setelah terjadi. Bila perlu sertakan bukti nyata foto atau video saat anak mengalami hal tersebut. Sehingga Kakek-Nenek menerima info yang benar-benar real serta merasa dilibatkan dalam proses perkembangan anak.

Selanjutnya, dua generasi yang berbeda, yaitu orangtua dan Kakek-Nenek perlu membuat aturan/pola asuh bersama yang akan diterapkan ketika cucu sedang berada dalam pengasuhan Kakek-Nenek. Pola asuh yang berbeda akan membuat anak kebingungan. Mattanah (2005) menyatakan bahwa orang tua yang terlalu mendorong atau melarang serta terlalu banyak membantu anak justru akan mengakibatkan anak merasa tidak mampu atau merasa bersalah jika tidak berhasil sehingga anak menjadi tidak mandiri (Weiss, 2006).

Sementara, gaya pengasuhan yang diterapkan nenek biasanya bersifat permisif (Viguer et al., 2010). Gaya pengasuhan nenek yang demikian dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan kemandirian dan kognitif cucu yang diasuh oleh nenek. Padahal, pola pengasuhan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam membangun kemandirian dan kognitif anak. Dengan menyepakati aturan yang sama, anak akan mengerti bagaimana harus bertindak ketika menghadapi situasi tertentu.

Terakhir, pada masa awal perkembangan anak, salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh orang tua ialah mendukung terbentuknya kelekatan yang aman pada anak (Brooks, 2001). Baird (2013) menyatakan bahwa kelekatan merupakan hal yang penting bagi pembentukan hubungan pada anak usia dini dan dapat memengaruhi hubungan anak sepanjang masa hidupnya.

Byng-Hall (2002) menemukan hubungan yang erat antara kelekatan dengan jenis pengasuhan yang diberikan kepada anak. Kedua faktor ini menurutnya dapat membantu orang tua dalam menghadapi krisis yang dialami oleh anak selama masa perkembangannya.

Kegiatan yang dilakukan bersama dapat lebih menguatkan hubungan dan mengenal satu sama lain. Kakek-Nenek memahami aturan dan pola asuh orangtua, sebaliknya orangtua memahami cara interaksi Kakek-Nenek dengan anak mereka. Sehingga semakin lama Kakek-Nenek dan orangtua dapat menyesuaikan satu sama lain.

Nah, dari rangkuman yang dipaparkan oleh Mba Pramudita Tungga Dewi sudah cukup jelas bukan? Sederhananya, dari saya pribadi menyimpulkan bahwa sebagai orang tua kita perlu bijak untuk menyikapi kondisi ini. Dan, sebagaimana mestinya agar selalu berusaha untuk mengefektifkan komunikasi dan kelekatan antara Kakek-Nenek agar selalu terjalin dengan baik.

Kendati, pada kenyataannya terbilang sulit dan banyak gondok-gondokannya, hihi. Toh, namanya juga usaha sambil berproses pasti akan ada penyelesaiannya. Well, semoga bermanfaat ya mak. Salam Waras!