Dapat dipastikan, tanpa kapan tahu waktu pastinya perubahan sifat itu mulai hadir dalam diri saya. Kurang lebih tepatnya, setahun setelah menikah. Saya yang cenderung ekspresif dalam segala hal dengan segala keriangannya, lebih memilih diam sambil bermain handphone di pojokkan. Memilih untuk tenang tanpa adanya kebisingan yang seringkali saya hadirkan.
Introvert. Begitulah sikap yang pantas disematkan pada diri saya dua tahun belakangan ini. Mengingat, setelah dipikir-pikir enak juga sepertinya bertindak dengan sikap demikian. Saya pribadi pun tidak sadar, mengapa lambat laun saya bisa bersikap layaknya seorang introvert yang begitu nyaman dengan diri dan dunianya. Bisa jadi karena adanya faktor internal dari paksu yang begitu dominan mewarnai keseharian saya dengan sikapnya yang romantis nan introvert itu.
Ahh, mungkin saja iya. Namun, bisa saja tidak. Pasalnya, hidup diwarnai dengan banyak kemungkinan yang bisa hadir begitu saja bukan? Bahkan, tanpa dapat kita duga sebelumnya.
Namun, pada kenyataannya dominansi itu nyata gaes. Coba bayangin saja, kamu sebagai cewek yang awalnya jaim buat sekadar ngupil atau kentut sembarangan di tempat umum. Lalu, suatu hari pasca menikah dipertemukan dengan lelaki yang cuek dan secara enggak langsung menyadarkanmu untuk tidak lagi jaim. Maka, dalam hitungan waktu tanpa terduga sikapmu akan otomatis ‘tertular’ gara-gara si doi. Menarik sih, dan bagi saya lucu buat dibahas.
Baca Juga: H+2 Nikah Ditinggal LDM, Why Not?
Lantas, kok bisa sih ya? Ini dia selengkapnya…
Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang…
Hayoo, yang baca sub judul di atas sambil nyanyi siapaaa? Cung, ngaku hihii. Terdengar miris ya kutipan lirik lagu di atas. Namun, jika kita analogikan seperti itulah diri kita, sikap kita pasca menikah dan melewati hari-hari bersama pasangan hidup.
Ibarat pelangi, warnanya pun amat beragam. Bukan lagi hanya satu warna, namun berbagai warna hadir untuk meramaikan situasi per-rumah-tangga-an kita (halah, ribet!). Dan, saat menghadapi sikap dan sifat pasangan yang bagi kita banyak yang bertolak belakang, please jangan ambil pusing.
Toh, namanya juga suami. Dia adalah ‘orang asing’ sebelum halal bagi kita. Which is, latar belakang, asal-usul dan sebagainya tentu memiliki perbedaan dan terasa asing untuk kita jamah. Sehingga, ketika sudah menikah pun tentu akan banyak unsur yang akan mewarnai diri kita secara tidak langsung. Dan, lambat laun akan berubah menjadi kebiasaan, sikap dan sifat yang rasa-rasanya kok agak mirip ya dengan pasangan. Begitu, ceu!
Saat berbalas kent*t adalah hal yang mengasyikan
Maaf, bukan maksud jorok. Namun, jujurly hal itu adalah bagian dari keseruan pasutri yang saya alami dan less drama. Dalam artian, toh bahagia itu retjeh banget loh!
Sereceh kamu saat dapat membalas kent*t pasangan yang baunya semerbak dan suaranya pun menggemparkan isi rumah. Bahkan, ketika kita dapat menyainginya, rasanya tuh happy banget bisa ‘nyerang’ pasangan dengan jurus kent*t andalan. Tapi please, jangan ditiru ya gaes. Pokoknya, saling bahu-membahu lah dalam kebaikan. Cateeett!
Baca Juga: Pillow Talk: Penting Enggak Sih?
Ketika cucian menumpuk dan rumah kotor, pasangan pun ‘ikhlas’ memaklumi
Ini dia bagian yang saya sukaaa, alhamdulillah ayahnya Khadijah enggak pernah protes soal kebersihan rumah de el el. But, di satu sisi doi beruntung. Pasalnya, dia memiliki istri yang bisa dibilang cukup perfeksionis soal kebersihan.
Jadi nih yaaa, kalau one day ogut tiba-tiba malas berbenah rumah, syukurnya doi enggak pernah maksa, nyuruh apalagi nyinyir buat bersih-bersih. Paling-paling ogut yang pusing sendiri lantaran enggak betah sama kondisi rumah yang kayak kapal pecah, heuuu. Ribet aku tuh…
Ujung-ujungnya, malah jadi ketularan careless kan sama kebersihan gara-gara paksu yang emang basically cuek soal kebersihan. Hiks.
Saat pasangan bilang cinta, tanpa embel-embel
Entah kenapa, saya pribadi suka banget dengan ungkapan cinta yang terucap ‘polos’ tanpa embel-embel dan spontan begitu saja. Rasa-rasanya terdengar cukup tulus, karena aslinya saya sendiri orangnya emang enggak suka digombalin.
Terlebih, jika ungkapan cintanya justru lebih banyak disampaikan via action. Wuihh, bisa-bisa ogut makin klepek-klepek dibuatnya. Karena sejatinya, kata cinta bukan lagi sekadar pernyataan verbal. Tapi lebih dari itu, kata cinta sendiri sebaiknya diterjemahkan dalam wujud nyata berupa hadirnya tindakan. Sehingga, kata cinta inipun akan beralih fungsi sebagai verb yang nyata tapi tegas. Duh, makin meleleh kan jadinya.
Penerimaan adalah kunci terbaik dalam rumah tangga
Yup, it’s the best way. Salah satu hal yang mesti kita pertanyakan pada diri sendiri sebelum memutuskan untuk menikah ialah dapatkah kita menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan seumur hidup?
Mengingat, menikah sendiri merupakan proses belajar seumur hidup. Sehingga, semua kekurangan khususnya yang melekat pada diri pasangan kita ‘wajib’ menerima dengan hati lapang dan ikhlas. Entah itu, masa lalunya yang kelam ataupun kondisi fisiknya yang bagi kita not good, wajib perlu kita perhatikan untuk bisa menerimanya dengan baik.
So, jika hatimu saja masih ragu atas kekurangannya, sebaiknya pertimbangkan lagi dan saran saya jangan memilih untuk lanjut pada hubungan yang lebih serius. JIKA KAMU BELUM BISA MENERIMANYA DENGAN BAIK. Daripada hal itu menjadi penyesalan di kemudian hari akibat ‘hati’ yang terlanjur dipaksakan, kan kasihan si dia. Jadi, tolong pikirkan lagi baik-baik sebelum memilih, jangan hanya karena termakan omongan cinta. Lantas, sejurus kemudian malah terseret-seret jadinya.
Finally, bagaimana dengan kamu? Sudah yakin dan mantap dengan pilihan hatimu? Yuk ahh, pahami, yakini, lalu putuskan dengan hati-hati agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan, jangan lupa untuk selalu berdoa dan menyertakan Allah dalam setiap niat-niat baik kita. Semoga bermanfaat. SALAM WARAS!