Menjadi ibu, sulitkah?
Pertanyaan yang ringan, namun sangat mengena. Bahkan, saat menjalaninya pun bukanlah hal yang mudah. Melainkan, sulit. Iya, sulit. Karena, banyak emosi yang bermain didalamnya. Dan, seperti itulah realitanya, bahwa menjadi ibu dengan tugas mulianya ini membutuhkan hati yang luas untuk selalu bersabar di segala kondisi.
Maka, lantaran sulit dan penuh dengan dinamika ini, saya pun tidak ingin membebani diri dengan berbagai hal di luar kapasitas. Bukan maksud hati untuk nyinyir, perlu sih jadi ibu yang hebat. Namun, bukankah alangkah baiknya para ibu ini memerdekakan hati dan pikiran mereka dari belenggu kesempurnaan untuk bisa bahagia?
Karena, bagi saya ibu yang hebat itu adalah mereka yang bisa menempatkan diri menjadi pribadi yang sempurna walaupun belum seutuhnya. Kendati, bermodalkan pencitraan, rasanya sulit bagi saya untuk membohongi diri sendiri di depan buah hati. Mengingat, beban emosi yang tertahan dapat memicu stress tersendiri yang dapat menjadi bom waktu di kemudian hari dan saya memilih untuk meluapkannya dengan cara yang berbeda.
Yakni, dengan melepas tawa bersama si kecil dan membuatnya bahagia saat bersama saya. Karena, hanya dengan melihat tawanya saja sudah cukup membuat diri saya kembali good mood. Dan, benar saja, bahwa bahagia itu amat sederhana.
Ketika Ibu Marah dan Sulitnya Mengelola Emosi
Terlepas dari semua itu, saya ingin sedikit bercerita tentang kegundahan hati saya selama berinteraksi dengan si kecil sampai saat ini. Saya sadar, menjadi ibu yang sempurna itu sangat sulit. Iya, sangat sulit. Karena, bisa jadi hati saya belum siap untuk menerima, bersabar dan ikhlas dalam membersamainya di setiap momen tumbuh kembangnya.
Terkadang, saya egois untuk menuntut si kecil agar dia dapat memahami saya. Padahal, seharusnya saya paham bahwa dia sedang membutuhkan banyak curahan perhatian dari saya. Sehingga, ketika dia merasa kurang dengan ‘jatah’ perhatian dari ibunya, maka tak segan pula dia memutar otak agar si ibu bisa terus memberikan waktu untuk memperhatikannya.
Sekali lagi, saya ibu yang egois. Karena, saya sibuk mengaktualisasikan diri dan lupa mengembangkan potensi si kecil di masa golden age-nya saat ini. Alih-alih mengumpulkan pundi-pundi rupiah, namun nyatanya hal itu tidak dapat seutuhnya membayar besarnya keinginan mereka untuk bisa lebih dekat dengan si ibu.
Karena, jika si kecil mulai ‘berulah’, justru si ibu yang malah murka. Padahal, mereka bersikap demikian lantaran belum tahu bagaimana caranya untuk mengalihkan perhatian si ibu dari kesibukannya. Dan, inilah yang menjadi ujian terberat saya. Yakni, sulitnya mengelola emosi yang sering meledak-ledak.
Karena itulah, saya belum bisa seutuhnya sabar dan ikhlas saat membersamai si kecil selama ini. Seringkali yang menjadi fokus saya saat memarahinya ialah pada kesalahannya. Bukan, tentang bagaimana cara saya untuk bisa menjaga perasaannya saat menegurnya ketika ia salah.
Sekali lagi, saya salah besar tentang hal ini. Saat marah pun, nyatanya emosi saya lebih dominan ketimbang pengetahuan parenting yang telah saya baca dari berbagai refrensi. Rasanya, semua itu nonsense, enggak ada artinya. Oleh sebab itu, khusus dalam hal ini MENJAGA KEWARASAN adalah poin penting yang harus saya garisbawahi sebelum berinteraksi dengan si kecil.
Meski Begitu, Jangan Salahkan Ibunya!
Makin kesini, pengetahuan akan ilmu parenting pun rupanya terus berkembang pesat. Hal ini, seiring dengan tingginya laju informasi serta afirmasi positif yang terus hadir untuk mensupport para ibu-ibu tangguh ini. Namun, lagi-lagi saya percaya bahwa beda anak, beda orang tua tentu beda pola asuhnya. Sehingga, untuk menerapkannya pun sulit jika mesti diseragamkan alias dipukul rata. Dan, melalui ilmu parenting inilah, saya memaknainya sebagai rujukan dalam mengambil keputusan.
Kemudian dari informasi ini saya olah untuk saya pilah sesuai dengan kondisi saya dan si kecil pastinya. Karena, jika mematok standar terlalu tinggi, rasanya terlalu berat. Saya pribadi belum sanggup untuk menyeimbangkannya. Mengingat, saya pribadi bukanlah orang yang suka memaksakan diri dalam hal-hal tertentu yang di luar kuasa saya, KECUALI SAYA SUKA BANGET DENGAN AKTIVITAS ITU, hehe.
Kembali lagi, mau seburuk apapun seorang ibu. Tentu dia akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya, bukan? Terlepas, dari seperti apa cara yang mereka gunakan untuk mendidik anak-anak mereka. Kendati salah, bukan berarti dengan sengaja. Melainkan, mereka belum paham akan ilmunya.
Dan, bahkan bagi para ibu yang tengah dihadapkan dengan gangguan baby blues ataupun Post Partum Depression (PPD) ini. Tolong, jangan salahkan mereka sepenuhnya! Karena, khusus pada kondisi ini jiwa mereka tengah tertekan dan bergejolak secara emosional. Terlebih, jangan pernah sekalipun mengaitkan kondisi mereka ini dengan keimanan yang sedang turun.
Karena, secara psikis mereka butuh seseorang yang bisa mendampingi. Butuh tempat untuk berbagi, menyalurkan segala keluh kesah mereka. Bahkan jika perlu, mereka tidak butuh kehadiran banyak tamu untuk datang menjenguk. Terlebih, kedatangan tamu-tamu ini justru hanya untuk memojokkannya. Sekali lagi, mereka hanya butuh seseorang yang peduli dan dapat memberikan perhatian yang sebenarnya. BUKAN BASA-BASI.
Oleh sebab itu, teruntuk para ibu berhatilah-hatilah dalam menjaga lisan. Khususnya, menjaga lidah-lidah kita untuk tidak menyalahkan apalagi sampai menghakimi sesama kaum kita sebagai ibu. Please keep your mouth ya buuukk!
Tentang Menjadi Ibu: Jalani dan Nikmati!
Menjadi ibu bagi saya adalah anugerah sekaligus ujian hidup dalam menjaga amanah dariNya. Sehingga, saya merasa ‘perlu’ untuk membekali diri dengan penuh kesadaran terlebih dahulu sebelum memutuskan menjadi ibu. Dengan kata lain, mempersiapkan mental. Selain itu, kita juga perlu realistis dan bijak dalam menyadari kapasitas diri. Setidaknya, kita tahu sejauh mana batas kemampuan kita dalam mengusahakan sesuatu dan jangan sampai memaksakan diri.
Ingat selalu, menjadi ibu itu berharga banget lho. Jadi, boleh banget kok kita mengeluh saat tidak sanggup. Dan, bahkan menangis sejadi-jadinya saat fisik dan jiwa kita mulai melemah. Sadarlah, bahwa kita hanyalah MANUSIA BIASA yang enggak luput dari yang namanya salah dan kekurangan. Jadi, wajar banget kalau kita berbuat salah atau khilaf, pan manusia itu tempatnya salah.
Terakhir, nikmati dan jalani saja peran kita sebagai ibu. Jangan sampai mematok diri pada standar yang kita sendiri enggak sanggup untuk meraihnya. Boleh sih berjuang dan mengusahakannya, tapi pleaseee jangan sampai memaksakan diri untuk sempurna lalu membuat diri kita akhirnya stress. Please, jangan ya buuuk! Karena sekali lagi, kita semua ini ISTIMEWA. Dan, berhak mendapatkan support system dari orang-orang terdekat kita.
Dengan kata lain, boleh banget kok kita egois sedikit ajaaa demi menjaga kewarasan diri di tengah kejamnya gunjingan netijen yang makin nyinyir. Itu enggak salah kok. Bahkan untuk sekadar ‘kabur’ me time di saat anak-anak lagi pada cranky, why not? Sekali lagi, boleh kok buuuk.
Akhir kata, semoga bermanfaat ya buibuuuk sayang. Salam Waras!
Ludy