Site icon Catatan Ludy

Kenali dan Deteksi Penyakit Demensia Sejak Dini

“Papa tuh bukannya lupa, cuma enggak inget aja naruh uangnya dimana.” Tuh kan!!!

– Kakeknya Khadijah

Saat mendengarnya, ada perasaan sedih yang jelas tergambar dalam benak saya sebagai anak. Teringat, beberapa bulan yang lalu, papa lagi-lagi mengalami stroke untuk yang ke dua kalinya. Kendati, bukan bermaksud menyesali nasib yang telah menimpa papa. Hanya saja, hati tiba-tiba teriris, lantaran dampak buruk yang muncul akibat dari serangan penyakit saraf tersebut. Dan, salah satu dampak fatalnya yang amat terlihat jelas saat ini ialah gejala pikun.

Pictured by pexels.com

Sebagai orang awam, jelas saya tidak dapat menjelaskan secara detail seperti apa korelasinya. Karena, sudah sangat terlihat kondisi ini erat kaitannya dengan masalah saraf, utamanya pembuluh saraf di otak. Dan, fungsi pembuluh saraf di otak inilah yang memegang peranan penting dalam hal memori dan informasi. Lantas, dari situasi ini pun saya mulai berfikir, kira-kira apa bedanya antara pikun dan lupa?

Bersyukur banget, tepat pada hari Minggu (20/9) kemarin, saya dan ratusan orang lainnya berkesempatan untuk ikut serta dalam Zoom Live yang diselenggarakan oleh PERDOSSI (Persatuan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia), PT. EISAI Indonesia, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa, serta NAPZA Kementrian Kesehatan Indonesia. Dalam rangka Festival Digital Bulan Alzheimer Sedunia, yang juga memberikan edukasi terkait kampanye #ObatiPikun. Sekaligus, meningkatkan kesadaran masyarakat awam untuk mengenal lebih jauh penyakit Alzheimer ini.

Pikun dan Lupa, Apa Sih Bedanya?

Dalam webinar ini, dr. SB Rianawati, SpS(K) atau kerap disapa dokter Rien ini memaparkan bahwa pikun bukanlah hal yang normal dalam proses penuaan. Karena, pikun sendiri adalah suatu kondisi ketika seseorang membutuhkan waktu lebih lama untuk mengingat atau lupa dengan apa yang telah mereka kerjakan sebelumnya. Atau lebih jelasnya, menurunnya kemampuan untuk berpikir pada otak seseorang. Adapun, dalam dunia medis sendiri, kondisi ini lebih tepat disebut dengan Demensia. Dimana, terjadinya penurunan fungsi otak, seperti menurunnya daya ingat dan kecepatan berpikir serta berperilaku. Nah, Demensia ini sendiri terbagi menjadi beberapa klasifikasi, antara lain:

Lalu, apa bedanya pikun dengan lupa? Kondisi lupa ini sendiri, dijelaskan sebagai gangguan pemusatan perhatian yang hanya berlangsung sementara. Itu artinya, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengingat serta tidak menjadi munculnya gejala dari suatu penyakit. Berikut, penjelasan dr. Rien terkait perbedaan antara pikun dan lupa di bawah ini.

Secara umum, banyak yang menganggap bahwa pikun adalah suatu hal yang wajar dalam proses penuaan. Padahal, sebenarnya tidak normal lho. Faktanya, kondisi pikun ini dapat berisiko menjadi penyakit Demensia. Dimana, penyakit Demensia ini sendiri tidak hanya menyerang orang-orang lansia saja, namun usia produktif sekalipun dapat mengalami penyakit ini. Berdasarkan data dari Alzheimer’s Disease International dan WHO, ada lebih dari 50 juta orang di dunia mengalami Demensia. Dimana, terdapat penambahan sekitar 10 juta kasus baru tiap tahunnya. Tercatat, dari jumlah kasus tersebut, Demensia Alzheimer menyumbang 60-70% kasus didalamnya.

Sedangkan, di Indonesia sendiri, pada tahun 2013 diperkirakan ada sekitar satu juta orang penderita Demensia Alzheimer. Dimana, jumlah tersebut akan terus meningkat drastis menjadi 2x lipat pada tahun 2030, dan menjadi 4x lipat pada tahun 2050. Maka dari itu, untuk mencegahnya perlu dilakukan deteksi dini pada penyakit Demensia guna membantu penderita dalam menjaga kualitas hidup mereka. Ini penting, karena dengan kita kenali dan deteksi penyakit Demensia sejak dini dapat mengurangi percepatan kepikunan serta angka penderitanya.

Apa saja Gejalanya?

Dalam kesempatan kali ini, dr. Rien juga menyampaikan beberapa gejala pikun guna mendeteksi adanya diagnosa terhadap penyakit Demensia sejak dini. Apa saja? Ini dia, selengkapnya!

Mengenali gejala pikun

  1. Gangguan daya ingat atau sering lupa
  2. Disorientasi, bingung akan waktu (hari, tanggal), dan bahkan tidak tahu jalan pulang
  3. Menarik diri dari pergaulan
  4. Perubahan perilaku dan kepribadian
  5. Sulit melakukan pekerjaan yang familier, seperti sulit menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, cara mengemudi, mengatur keuangan.
  6. Kesulitan memahami visuospatial – sulit mengukur jarak, tidak dapat membedakan warna
  7. Sulit fokus
  8. Gangguan berkomunikasi, kesulitan berbicara
  9. Salah membuat keputusan
  10. Menaruh barang tidak pada tempatnya.

Dari gejala ini, maka dapat disimpulkan bahwa Demensia ini merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan adanya gangguan kognisi, perilaku dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Dimana, gangguan kognitif dan perilaku ini meliputi beberapa hal sebagaimana penjelasan dari Dr. dr. Junita Maja Pertiwi, Sp.S(K), antara lain:

Mengenali Gangguan Demensia

Diketahui pula, selain lansia, orang-orang berusia produktif pun juga bisa terkena Demensia Alzheimer lho. Dan, ini dia kategorinya:

Siapa saja yang berisiko terkena Alzheimer?

Lakukan Deteksi dan #ObatiPikun Sejak Dini

Deteksi dini terhadap penyakit Demensia Alzheimer ini rupanya perlu dilakukan secepatnya. Sebagai salah satu cara untuk mempercepat penanganan pada penderita, agar kerusakan otak dapat dicegah lebih cepat. Dan, hal inilah yang mendasari PERDOSSI bersama PT EISAI Indonesia dalam mengatasi permasalahan Demensia di Indonesia melalui sebuah aplikasi yang dinamakan E-Memory Screening (EMS).

Deteksi Dini Melalui Aplikasi EMS

Aplikasi ini dapat dengan mudah kita download di Playstore dan Appstore dengan kata kunci ‘EMS Sahabat Kesehatan Otak Keluarga’. Dari aplikasi EMS ini, kita dapat memperkirakan kondisi memori seseorang melalui sejumlah pertanyaan yang diajukan pada pengguna aplikasi terkait Demensia Alzheimer itu sendiri. Dimana, dari pertanyaan tersebut aplikasi EMS akan memberikan skor yang sesuai dengan kondisi pengguna.

Dan, jika skor menunjukkan kondisi abnormal, maka aplikasi EMS akan memberikan rujukan dokter terpercaya yang ada di lokasi sekitar berdasarkan GPS melalui fitur direktori. Didalamnya, mencakup nama dokter spesialis neurologis, informasi jarak, serta nomor call center rumah sakit yang menjadi rujukan. Pada aplikasi EMS ini pula, terdapat berbagai informasi penting terkait Demensia Alzheimer dan penanganannya yang disajikan dengan mudah serta bahasa yang dapat dimengerti. Intinya, wajib banget dicoba aplikasinya nih, khususnya untuk kondisi papaku saat ini.

Lakukan Ini untuk #ObatiPikun!

Disamping perlu dilakukannya deteksi dini, pengobatan terhadap penyakit Demensia ini pun perlu segera diupayakan setelah diagnosa diberikan. Sebenarnya, pikun ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tumor otak dan kekurangan gizi. Adapun, salah satu cara untuk mengobati pikun ini ialah dengen pemberian obat. Dimana, pemberian obat ini sendiri bertujuan untuk memperbaiki gejala pikun dan meningkatkan fungsi otak. Sehingga, dengan mengobati gejala dari pikun ini, seseorang bisa keluar dari kepikunan. Dan, agar pengobatan lebih optimal, lakukan juga beberapa jenis terapi berikut ini.

Dari pemaparan dr. Rien di atas, perlu dicatat juga, bahwa pikun ini sendiri dapat dicegah sejak dini lho. Adapun, upaya yang perlu kita lakukan untuk mencegah pikun sejak dini, antara lain:

  1. Menjaga kesehatan jantung
  2. Bergerak berolahraga produktif
  3. Mengkonsumsi sayur dan buah (gizi seimbang)
  4. Menstimulasi otak, fisik – mental – spiritual
  5. Bersosialisasi dan beraktivitas positif

Kalau kita bicara Demensia ini, tentunya belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Kecuali, dengan mengurangi gejalanya, membuat penderitanya jadi lebih mandiri, serta memperlambat penyakit Demensia itu sendiri.

dr. SB Rianawati, SpS(K)

Peran Caregivers bagi ODD di Masa Pandemi Covid-19

Orang Dengan Demensia (ODD) di masa pandemi Covid-19 ini, nyatanya juga perlu beradaptasi dengan situasi new normal. Utamanya, bagi para caregivers agar selalu siap dan bersabar dalam menemani orang tua, tante atau bahkan saudara yang tengah mengalami penyakit Demensia. Karena, di satu sisi, terbatasnya ruang gerak saat ini bagi para ODD dapat memicu ketidakstabilan emosi dan mental.

Lantas, untuk menyiasatinya, Dr. dr. Junita Maja Pertiwi, Sp.S(K) membagikan beberapa strategi yang dapat caregivers lakukan dalam merawat ODD ini dengan hati yang ikhlas dan sabar. Antara lain:

Anyway, para ODD ini pun tentunya membutuhkan kasih sayang, penghargaan dan dukungan dalam melewati masa-masa sulit mereka. So, kalau bukan kita para caregivers, siapa lagi cobaaak? Yuk, rawat dan jaga mereka dengan sepenuh hati.

Demikianlah rangkuman yang saya tulis seputar Demensia Alzheimer ini. Semoga bermanfaat ya dan dapat dipahami dengan baik. Stay safe and stay healthy selalu ya teman-teman, see you. SALAM WARAS!

Ludy