Sudah sejak lama, saya mengetahui adanya penyakit kusta di dunia. Namun sayang, keberadaan penyakit tersebut hingga kini masih terus ada. Padahal, jika ditengok ke belakang, penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang kehadirannya muncul sejak tahun 600 sebelum Masehi.
Meski begitu, jenis penyakit yang juga memiliki nama lain Lepra ini tidak bisa disepelekan begitu saja. Kendati menular, namun masih bisa dicegah sejak dini sebaik mungkin. Di samping, stigma masyarakat yang trus beredar sejak dulu terhadap penyakit ini justru banyak yang menilainya negatif. Sebagian besar menganggap kusta sebagai kutukan, tabu, dan bahkan aib yang membuat malu keluarga.
Otomatis, stigma inilah yang kemudian menjadikan penyakit kusta terus ada hingga kini. Utamanya, bagi para penderita kusta yang belum pernah diobati dan OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta). Lantas, bagaimana upaya terbaik yang bisa kita lakukan untuk menghentikan laju penyebaran kusta ini di masyarakat?
Berkaitan dengan itu, beberapa waktu lalu saya sempat menyimak streaming Talkshow Ruang Publik KBR dengan topik Dinamika Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas pada Kusta di Lapangan. Dimana, topik ini sangat relate dengan stigma penyakit kusta yang berkembang di masyarakat hingga kini. Terlebih, stigma negatif inilah yang kemudian menghambat upaya pencegahan preventif penyakit kusta di tanah air. Seperti apa detailnya? Ini dia, selengkapnya!
Jauhi Penyakitnya, Bukan Penderitanya
Jangan ada kusta di antara kita…
dr. M. Riby Machmoed MPH (Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia)
Demikianlah, ungkapan dr. M. Riby Machmoed MPH saat membuka diskusi via streaming tempo hari. Pernyataannya tentu bukan sekadar isapan jempol, melainkan didukung oleh sejumlah fakta dan data yang valid di lapangan. Beliau menyampaikan bahwa penyakit kusta ini harusnya bisa selesai. Namun, karena si penderita malu dengan munculnya stigma negatif yang berkembang, akhirnya pengobatan terhambat dan tidak terlaksana. Sekali lagi, lantaran malu.
Ditambah, fakta ini makin diperkuat dengan sumber data nasional yang menyebut angka penyakit kusta mengalami penurunan dari tahun ke tahun, walau jumlahnya tidak terlalu banyak. Padahal, jika penyakit kusta ini segera ditangani dengan baik, tentu angkanya akan terus mengalami penurunan seiring dengan jumlah pasien yang sembuh dan tertolong.
Mirisnya lagi, dr. Riby menambahkan, ada sejumlah tenaga kesehatan yang menganggap bahwa penyakit kusta ini menular. Sehingga, mereka merasa enggan untuk segera menangani pasien. Hal ini mungkin terjadi, lantaran kurangnya edukasi dan bisa jadi ikut termakan oleh stigma negatif tersebut. Sehingga, lagi dan lagi pasien jadi makin malas untuk berobat hingga penyakit kusta yang mereka derita bertambah parah.
Sejatinya, penyakit kusta ini adalah jenis penyakit menular tapi tidak mudah menular. Adapun, penularan penyakit kusta ini kerap terjadi dari penderita yang belum pernah diobati. Camkan! Apalagi, kusta ini sendiri disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, yang infeksinya dimulai dari satu orang penderita ke orang lainnya melalui percikan droplet dari saluran pernapasan, berupa dahak atau ludah yang dikeluarkan saat batuk atau bersin.
Pendampingan untuk Pasien Kusta
Adapun, kusta ini tidak dapat menular begitu saja. Dikarenakan, seseorang bisa terinfeksi bakteri ini jika dia melakukan kontak terus-menerus dengan si penderita dalam waktu lama. Sehingga, jika hanya duduk bersama, bersalaman, atau bahkan hingga berhubungan seksual dengan si penderita, infeksi bakteri ini tidak akan mudah terjadi. Mengingat, dalam prosesnya bakteri butuh waktu yang lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.
Ibu Sierli Natar, S.Kep (Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar) menyebut, saat pertama kali penderita memeriksakan diri mereka ke Puskesmas dan tahu menderita kusta, perasaan mereka shock bukan main. Terselip rasa bersalah dalam diri sembari memaknai penyakit ini sebagai azab, padahal sebenarnya bukan. Hingga kemudian mereka menarik diri. Terlebih, pihak keluarga juga turut menjaga jarak dan cenderung menyalahkan si penderita. Hingga akhirnya, proses pengobatan tak terlaksana lantaran stigma negatif ini.
Alhasil, si penderita pun sendirian, tanpa adanya pendampingan dari pihak manapun. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena upaya pencegahan preventif terhadap penularan kusta di masyarakat akan makin sulit untuk dijalankan. Maka dari itu, edukasi menyeluruh terhadap seluruh tenaga kesehatan menjadi penting untuk memutus mata rantai penyakit kusta.
Pihak nakes, mesti terbuka dan siap sedia melayani. Semata-mata agar terlepas dari stigma negatif ini. Menurut Ibu Sierli, dengan dampingi – rawat – lindungi, maka kita turut berupaya mendukung penderita kusta untuk bisa sembuh. Utamanya, agar para penderita teredukasi dan bisa merawat diri mereka ketika kambuh.
Kenali Gejala Awal Penyakit Kusta
Seperti yang disampaikan oleh dr. Riby, bahwa penting untuk kita mengenali dengan baik seperti apa gejala awal penyakit ini. Adapun, gejala awalnya ialah munculnya bercak putih atau kemerahan yang umumnya disertai dengan mati rasa pada kulit. Termasuk diantaranya tidak dapat merasakan suhu, tekanan, gatal, bahkan rasa sakit.
Selain itu, gejala penyakit ini juga ditandai dengan melemahnya otot, terutama otot tangan dan kaki. Mata cenderung kering dan susah mengedip. Lalu, terjadi pembesaran saraf yang kerap terjadi pada siku dan lutut, serta masih banyak lagi gejala awal lainnya.
Maka dari itu, ketika ada gejala-gejala ini muncul, penderitanya diminta untuk tidak mengabaikannya begitu saja. Segera periksakan diri ke Puskesmas agar segera ditangani dan diberikan obat khusus untuk mengobati kusta. Terlebih, penting adanya dukungan moril dari keluarga dan lingkungan, agar pasien kusta bisa sembuh dan pulih seperti sebelumnya.
Semoga, catatan saya kali ini bermanfaat ya untuk teman-teman semua. Ingat selalu, untuk peduli kepada para penderita kusta di lingkungan kita dengan dampingi – rawat – lindungi. Have a good day, SALAM WARAS!
Ludy