Qadirun ‘alal kasbi merupakan salah satu dari sepuluh muwashofat tarbiyah yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Muwashofat sendiri merupakan sifat-sifat khusus yang semestinya ada pada diri seseorang muslim. Sehingga, dengan diterapkannya muwashofat tersebut akan semakin menguatkan pilar-pilar pondasi karakter seorang muslim dalam berbagai hal. Sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Ustad Syatori Abdurrauf, Pengisi Kajian Rutin Pagi Hari (KRPH) Masjid Mardhiyyah, Kampus Universitas Gadjah Mada, mengenai urgensi qadirun ‘alal kasbi dalam diri seorang muslim.
Ustad Syatori menjelaskan, makna dari qadirun ‘alal kasbi, qadir artinya mampu, sedangkan ‘alal kasbi artinya untuk melakukan kasab, sehingga diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan kasab. Kasab sendiri memiliki pengertian, yaitu usaha untuk mendapatkan uang. Dapat dikatakan pula, setiap usaha untuk mendapatkan uang disebut dengan kasab, yakni terdiri dari usaha yang boleh dilakukan (halal) dan usaha yang tidak boleh dilakukan (haram).
Setiap muslim memiliki urgensi untuk menerapkan karakter qadirun ‘alal kasbi dalam kehidupan sehari-hari, yang disesuaikan dengan tujuan hadirnya manusia di muka bumi ini yaitu sebagai ‘abdun (hamba) bagi Allah dan khalifah bagi Allah. Pasalnya, menjadi ‘abdun merupakan suatu keniscayaan yang bernilai mutlak bagi setiap manusia. Sehingga, apapun yang kita lakukan dalam hidup ini hendaknya disesuaikan dengan kapasitas kita sebagai ‘abdun (hamba). Sebagaimana yang dikutip dalam firman Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (Qs. Adz Dzaariyat: 56)
Maka, jika kita menyalahi aturan dalam penciptaan Allah, sama halnya dengan kita tidak menjalani perintah Nya sebagai ‘abdun lillah (hamba bagi Allah). Lantas, bagaimana halnya dengan peran kita sebagai khalifah di bumi ini? Ustad Syatori menjawab, hendaknya kita juga meniscayakan diri kita sebagai khalifah di muka bumi. Kata khalifah atau lebih lengkapnya khalifatullah fil ardhi memiliki arti, yaitu pengganti Allah di muka bumi. Sehingga, apapun yang kita lakukan harus dalam rangka mewakili Allah di muka bumi.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah Ayat: 30)
Peran kita sebagai khalifah di muka bumi ini hendaknya kita manfaatkan untuk menabung amal kebaikan sebanyak-banyaknya, khususnya dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Tugas tersebut dapat kita lakukan secara optimal dengan meningkatkan intensitas hubungan kita terhadap Allah (hablumminallah) terlebih dahulu, dan kepada sesama manusia (hablumminannas). Karena, menjadi khalifah pasti membutuhkan suatu usaha atau kemampuan untuk berikhtiar secara mandiri dalam rangka menebarkan manfaat bagi sesama atas hasil jerih payah yang diusahakannya sendiri. Mutlak bagi seorang khalifah untuk mampu melakukan hal tersebut, sehingga sifat dari qadirun ‘alal kasbi ini sangat penting dimiliki oleh seorang muslim.
Ustad Syatori menyarankan, untuk menguatkan karakter qadirun ‘alal kasbi dalam diri seorang muslim hendaknya harus diawali dengan kemauan yang kuat dan berasal dari sumber yang halal pastinya. Pasalnya, kemampuan adalah kemauan pada diri seseorang yang membuat dirinya menjadi mampu. Sehingga, kemauan itu lebih dari sekedar kemampuan yang dimiliki oleh orang yang tidak memiliki kemauan. Semoga Allah senantiasa menuntun hati-hati kita. (ann/elnury)