Pada suatu hari, Imam Al Ghozali tengah berkumpul dengan murid-muridnya. Kemudian, dia hendak bertanya, “Apa yang paling dekat dengan kita di dunia ini?” Murid-muridnya pun mencoba menjawab pertanyaan sang guru, diantaranya ada yang menjawab orang tua, teman, kerabat dan guru. Lantas, sang Imam pun menjawab dan menjelaskan bahwa semua jawaban itu benar. Namun, yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Karena, mati itu mutlak dan merupakan janji dari Allah bahwasanya setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 185).
Maut datang pada setiap manusia dalam berbagai cara yang berbeda-beda, ada yang dalam kondisi sedang lelap tertidur, kecelakaan, wafat dalam peperangan dan bahkan yang paling indah dan mulia yakni ketika tengah bersujud dalam shalat.
Kematian itu sunnatullah
Ayat di atas menegaskan bahwa kematian adalah sunnatullah. Setiap orang pasti akan merasakannya. Ada jutaan wasilah (cara) dan sebab kematian yang setiap saat mengintai seseorang dan tak dapat dihindari.
Allah berfirman, “Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh…” (QS An-Nisaa’ [4]: 78).
Dalam kajian Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan, Allah Ta’ala memberitahu kepada semua makhluk-Nya bahwasanya tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. “Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal,” (QS Ar-Rahmaan [55]: 26-27).
Maka, hanya Allah yang Mahahidup dan tetap kekal. Dia-lah Yang Mahaakhir sebagaimana Dia Yang Mahaawal. Di dalam ayat tersebut terdapat takziyah untuk semua umat manusia bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi yang kekal (Tafsir Ibnu Katsir, I/386).
Sementara Sayyid Quthb rahimahullah dalam Fi Zhilali’l Qur’an (I/532-533) ketika menafsirkan ayat tersebut menyampaikan, ada sebuah hakikat/kenyataan yang harus tertancap kuat dalam jiwa. Yaitu bahwa kehidupan di muka bumi ini temporer, terikat oleh ajal, kemudian datanglah keberakhirannya, tidak bisa tidak.
Orang-orang shalih akan mati, demikian pula orang-orang thalih (lawan shalih/buruk). Begitu juga para mujahid (pejuang), orang-orang yang malas berjuang, mereka yang memuliakan dirinya (dan konsisten) dengan akidah, dan orang-orang yang menghinakan dirinya kepada orang yang diperbudak (oleh nafsu dan kekuasaan). Anak-anak, orangtua, orang yang sakit, yang sehat, yang kuat fisiknya, yang lemah, semuanya akan mati.
“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.” Setiap jiwa akan merasakan “tegukan” ini dan meninggalkan kehidupan fana. Tidak ada yang berbeda antara satu jiwa dengan jiwa yang lain dalam merasakan tegukan dari ”gelas” yang meliputi/mengelilingi semua jiwa. Pembedanya hanyalah nilainya (value) dan tempat persinggahan terakhirnya.
”Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.”
Penyebutan penyempurnaan ganjaran atas ketaatan dan kemaksiatan di sini memberi isyarat tentang sebagian ganjaran yang baik maupun yang buruk yang sampai kepada manusia di dunia atau di alam kubur, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kuburan itu bisa menjadi taman dari taman surga atau galian dari galian neraka,” (HR Tirmidzi no. 2460, katanya, “Ini hadits gharib, kami tidak mengenalnya kecuali dari jalur periwatan ini”).
Inilah nilai yang menjadi pembeda satu dengan yang lain. Inilah tempat persinggahan terakhir yang membedakan seseorang dengan orang lain. Nilai kekal nan abadi yang berhak untuk diraih dengan usaha keras, susah payah dan pengorbanan. Tempat persinggahan terakhir yang menakutkan yang berhak mendapatkan seribu perhitungan dan pertimbangan.
Penggunaan lafaz “Zuhziha” dalam ayat tersebut, menurut Sayyid Quthb, menunjukkan bahwa neraka itu memiliki jaadzibiyyah (daya tarik/magnet) yang menarik keras siapa saja yang mendekat kepadanya dan masuk ke dalam ruang lingkupnya. Bukankah maksiat juga memiliki daya tarik yang menggiurkan?!
Karena itu, kita butuh orang yang menggerakkan dan menjauhkan kita sedikit demi sedikit agar selamat dari daya tarik neraka yang dahsyat itu! Maka, barangsiapa yang dijauhkan dari ruang lingkup neraka dan diselamatkan dari daya tarik/magnetnya dan dimasukkan ke dalam surga, maka benar-benar ia telah beruntung, sukses dan berbahagia (Lihat Fii Zhilali’l Qur’an I/533).
Dunia, sementara dan memperdaya
Setelah menjelaskan kematian itu pasti menimpa setiap jiwa, ayat di atas ditutup dengan kenyataan bahwa “Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” ini sebuah warning bahwa dunia yang kita singgahi dengan segala pernak-perniknya; kelezatan fisik baik berupa makanan, minuman dan hubungan biologis suami isteri, maupun kelezatan non fisik seperti kedudukan, jabatan dan kekuasaan, semua itu betul-betul mataa’un (kesenangan), namun bukan kesenangan hakiki.
Ia hanya seperti barang komoditi yang dibeli secara tertipu dan terperdaya, tidak lama kemudian terkuak keburukan dan kebusukannya. Hanya kebanyakan manusia selama ini tertipu dan terperdaya sehingga mengganggap dunia itu segala-galanya yang pantas diraih dengan menghalalkan segala cara. Padahal ia kesenangan yang menipu, fana, hina, hangus dan akan ditinggalkan, tidak bisa dibawa ke liang lahat.
Allah swt berfirman, “Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal,” (QS Al-A’laa [87]: 16-17).
Firman-Nya pula, “Dan apa saja [maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, kekayaan, jabatan, keturunan] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti?” (QS Al-Qashash [28]: 60).
Rasulullah juga telah mengingatkan dalam sabdanya, “Demi Allah, tidaklah perbandingan dunia dengan akhirat itu kecuali seperti (ketika) salah seorang kalian memasukkan jarinya ini–Yahya, perawi hadits, memberi isyarat dengan jari telunjuknya–ke dalam sumur (lalu diangkat), maka perhatikanlah apa yang kembali (masih menempel di jari)!” (HR Muslim no. 7376).
Maka, pantaskah kita menghabiskan seluruh potensi dan energi kita hanya untuk dunia yang seremeh dan sehina itu dengan mengorbankan akhirat kita? (ummi/ann/elnury)