” Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang…”
Itulah, lantunan syair indah karya Imam Syafii yang menggambarkan semangatnya dalam memperjuangkan ilmu sebagai suatu prioritas maknawi dalam kehidupannya hingga akhir hayat. Ya, berjuang. Makna perjuangan sendiri, sepertinya amat lekat dengan figur kepribadian beliau sebagai sosok tholabul ilmy, yang dengan pengorbanannya mencurahkan segala hal yang dimilikinya hanya untuk sebuah kata penuh syafaat yaitu ‘Ilmu’. Karena dengan ilmu itulah yang akan menghantarkan pribadi kita menjadi individu yang abadi atas kebermanfaatan dan kedalaman intelektual yang dapat disebarkan di masyarakat.
Prinsip beliau yang dituangkan dalam syairnya tersebut, secara tidak langsung terpatri dan mengalir kuat dalam fikiran dan kata hati saya untuk memperjuangkan suatu ambisi dalam kehidupan ini. Tidak dapat saya pungkiri, setiap orang yang hidup pastinya memiliki angan atau cita-cita atas dirinya. Demikian halnya dengan saya pribadi, memiliki cita-cita yang begitu kuat untuk menjadi seorang Jurnalis walaupun bukan lahir dari latar belakang pendidikan jurnalistik. Bagi saya pribadi, saya patut berbangga. Karena, inilah tantangan besar yang membuat saya berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Walaupun, sepertinya ambisi ini hadir di waktu yang terbilang terlambat, namun sekali lagi tidak ada kata terlambat untuk belajar. Terlebih, untuk mewujudkan suatu cita-cita yang diniatkan untuk memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak. Pasalnya, kau harus tahu, hakikat dari menjalani kehidupan ini adalah melahirkan dan memberi banyak manfaat untuk orang banyak.
Bagi saya pribadi, ambisi ini harus terus dihidupkan dengan senantiasa melinierkan tujuan dan niat saya hanya untuk Allah. Bukan untuk yang lain. Setidaknya, dengan menjadi seorang jurnalis, saya mampu menguraikan fakta dengan nilai yang sebenar-benarnya, tanpa ada yang dikurang-kurangi atau dilebih-lebihkan. Lalu, memberikan makna akan kebenaran dari suatu kejadian, sehingga timbul kesan maknawi dari setiap kejadian yang dihadapi oleh setiap insan dalam kehidupan ini. Mengingat, orientasi bekerja seutuhnya adalah sebagai sarana ibadah yang mampu menguatkan hati dan fikiran kita untuk lebih dekat dan banyak mengingat Allah. Berbeda halnya jika orientasi bekerja engkau sematkan untuk materi semata, maka kelak yang akan engkau dapati adalah bentuk kekecewaan yang bertubi-tubi. Lantas, saya pribadi tidak ingin bersikap munafik, apabila ternyata orientasi saya saat ini bukan hanya untuk ibadah melainkan juga materi, karena pada hakikatnya hidup membutuhkan berbagai hak yang harus dipenuhi.
” Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)
Dari kutipan firmanNya tersebut, saya hendak berfikir bahwa Allah dalam kehidupan ini memerintahkan kita sebagai hamba-hambaNya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Tidak ada makna lain, selain ikhtiar atau usaha. Tergantung dari tiap-tiap diri, ingin menjadikan ikhtiarnya tersebut untuk kepuasan dirinya sendiri atau malah memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain. Karena, dari niat bekerja itulah yang akan menghantarkan kita pada akhir kehidupan yang sebenar-benarnya. Bisa jadi, kelak di masa tuamu nanti dirimu adalah sosok yang disegani lantaran kedalaman ilmu yang engkau miliki serta banyaknya manfaat yang telah engkau berikan, karena pada titik awal perjuanganmu telah engkau niatkan sebagai bentuk jihad di jalanNya. Sebaliknya, kisah yang berbeda pun akan lahir, yakni sebuah kenistaan dan penghinaan pada dirimu di masa tua manakala pada titik awal engkau melandasi niatmu untuk meraih kehidupan duniawi semata tanpa menyelipkan Allah didalamnya. Maka, bukankah hal itu sangat menyakitkan bukan?
Menginsyafi diri sekaligus mengingatkan hati ini untuk terus tertegun padaNya melalui tulisan ini. Karena, sengaja melalui tulisan ini saya belajar untuk mengingat sekaligus menegur diri bahwa segala hal yang hendak akan dilakukan bermula dari niat yang benar, bukan yang lain atau malah asal-asalan. Sehingga, kelak saya akan mendapati hasil yang baik dariNya, bukan hanya untuk saya melainkan juga untuk orang lain.
Menjadi jurnalis, bagi saya merupakan suatu bentuk ketegasan diri dalam membenarkan fakta yang terjadi dan bernilai benar untuk diungkapkan, khususnya sebagai seorang muslim. Terlebih, jika engkau hidup di zaman yang medianya penuh dengan kemunafikan seperti saat ini. Tentunya akan banyak pemberitaan fakta dan propaganda hukum yang nilai kebenarannya disembunyikan dan diputarbalikkan. Sehingga, orang-orang saat ini hanya akan menangkap suatu kesalahan dibalik kebenaran dan menyimpulkan kebenaran melalui fakta-fakta yang bernilai palsu. Lantas, kita sebagai pribadi muslim, khususnya dalam hal ini harus bangkit dan hidup memperjuangkan fakta-fakta yang pada hakikatnya bernilai benar. Haram hukumnya untuk berserah diri ataupun pasrah begitu saja menjadi kaum yang lemah. Tugas kita sebagai seorang muslim banyak, bung! Jika engkau sebagai seorang muslim dan beragama Islam, tentunya tahu makna dari kata ‘muslim’ itu sendiri yang berarti ‘orang yang berserah diri’. Namun, sepantasnya bentuk kepasrahan dan berserahnya diri kita hanya diberikan untuk Allah Tuhan Semesta Alam, manakala kita telah berupaya melakukan ikhtiar-iktiar terbaik di jalanNya.
Bagi saya, dengan menjadi jurnalis maka engkau akan belajar melatih diri untuk banyak peduli dengan segala hal. Pasalnya, melalui profesi ini engkau dituntut untuk terbuka dan aktif berinteraksi dengan banyak orang. Di sisi lain, engkau dilatih untuk lebih peka dan banyak mendengarkan dengan kedua telingamu ketimbang berbicara dengan menggunakan mulutmu, karena dengan menjadi jurnalis engkau dilatih untuk memahami banyak hati yang mengadu. Sehingga, insting atau kata hatimu akan lebih banyak engkau gunakan untuk mengungkapkan kebenaran dan tentunya selalu melibatkan Allah didalamnya. Lalu, seiring dengan berjalannya waktu engkau akan semakin ditempa untuk belajar menguak segala realitas kehidupan secara nyata, apa adanya. Sehingga, akan muncul sebuah suri tauladan yang sangat melekat pada dirimu yaitu Kejujuran. Sungguh mulia bukan? Ya, itulah sebabnya saya ingin menjadi seorang jurnalis. Karena, di bidang tersebut akan semakin menyadarkan pribadi saya untuk bisa memahami, melatih diri dan menerapkan prinsip penting dalam hidup yaitu Jujur. Bukan karena apa, melainkan karena di titik awal niat yang hendak ditancapkan dalam diri semata-mata untuk menegaskan nilai dan hakikat kebenaran karena Allah dan setia berjanji mengabdi di jalanNya. Karena, buah kerja keras yang kelak akan engkau petik dari niat yang lurus itu ialah keberkahan yang melimpah dariNya. Maka, jangan segan ataupun takut merugi untuk bekerja di jalanNya. Okey, Selamat bermujahadah dengan ikhtiar terbaik, Ludy^^
Bekasi, 27 Maret 2015
Berjuang untuk Menang (Fighting!!!)