Site icon Catatan Ludy

Menuju New Normal, Siapkah Kita?

Menuju new normal, siapkah kita? Mungkin pertanyaan ini terdengar cukup singkat dan sederhana, kendati amat mengganjal sebenarnya. Apalagi, jika diberikan dua pilihan untuk menjawab antara YES or NO, tentu jika tidak disertai pertimbangan dan akal sehat yang “benar” akan terasa lebih mudah bagi lisan untuk menjawabnya.

Lantas, bagaimana dengan saya? Jelas, pertanyaan ini rasa-rasanya terdengar random dan masih ngawang-ngawang. Wait, bukan maksud hati untuk menyudutkan pihak manapun. Namun, dari saya pribadi menilai bahwa untuk menjawab pertanyaan ini sudah semestinya dibarengi dengan kematangan, adanya kepastian regulasi, dan kenyamanan yang menjamin bagi rakyat jelita seperti saya.

Baca Juga: Memantik Ketegaran di Tengah Pandemi Corona

New Normal: TERSERAH!

Tak ingin terjebak pada kondisi yang makin buruk, justru anggapan sosial yang melekat saat ini adalah “TERSERAH”. Mau selamatkan diri masing-masing beserta keluarga lainnya, ya TERSERAH. Bahkan, mau abai sekalipun dengan menganggap bahwa maut sudah Allah yang atur, ya TERSERAH juga.

Source: pexels.com

Cuma hemat saya untuk memutuskan hal ini, butuh tingkat kewarasan dengan level kesadaran yang cukup tinggi, bukan lagi lantaran latah atas kondisi pembaruan normal yang nyatanya bagi saya seperti dipaksakan saat ini. Padahal, kalau dilihat dari kurvanya sendiri hingga saat ini boro-boro bisa dibilang turun, justru malah makin meningkat atau malah enggak jauh beda. Well, jelas lah ya sampai sini?

Sebagai IRT dengan 1 orang putri yang masih berusia balita, membuat saya cukup sulit untuk memutuskan sesuatu dalam waktu singkat. Meski sadar, dewasa ini segalanya dituntut untuk serba taktis namun kenyataannya enggan untuk realistis. Sehingga, meyakini new normal sebagai suatu solusi untuk bermutasi menjadi individu yang lebih kuat, jelas salah besar. Karena, pembaruan normal ini sendiri justru lebih erat kaitannya dengan hukum rimba, yakni siapa yang kuat dialah yang mampu bertahan.

Lalu, bagaimana dengan saya yang imunnya lemah alias gampang sakit-sakitan? Mungkin, akan lebih aman memilih untuk stay dirumah aja hingga waktu yang tidak ditentukan. Karena, prinsip YOLO nyatanya lebih memotivasi saya saat ini untuk tidak ingin mati sia-sia begitu saja di tengah pandemi yang seolah makin mengganas. 

NEW NORMAL = NORMAL LIFE?

Source: pexels.com

Alias enggak jauh beda, as usual. Ajaib sih, begitulah anggapan saya. Di saat sebagian besar masyarakat di seluruh dunia ‘masih’ keukeuh membatasi aktivitas sosial, fasilitas umum dan kawasan hiburan. Justru, beberapa negara, termasuk Indonesia malah memberikan kelonggaran dalam hal ini agar rakyatnya dapat beraktivitas secara new normal (?). Namun, adanya kelonggaran ini mungkin terjadi karena memang basically diikuti pula dengan menurunnya angka kejadian. Nah, kalau Indonesia sendiri, how? Entahlah.

Meski dalam praktiknya, ada protap kesehatan khusus dari Kemenkes yang menjadi top priority bagi seluruh lapisan masyarakat dan wajib dipatuhi.

Lantas, pertanyaannya apakah tingkat kesadaran dan pemahaman tiap individu terkait Covid 19 ini sendiri merata? Apakah pemerintah dalam konteks ini bisa menjamin akses layanan kesehatan secara cuma-cuma dapat dijangkau oleh seluruh kalangan tanpa terkecuali? Mengingat, untuk skala rapid test aja lho bayarnya lumayan, gimana kalau sampai tahap PCR. Pasti biayanya pun akan lebih mahal lagi. Karena, tanpa kita sadari, bisa jadi kita-kita ini adalah OTG (orang tanpa gejala) yang diam-diam malah menularkan Covid 19 pada mereka, khususnya bagi yang memiliki sistem imun lemah. 

Bahkan, sejauh ini punishment yang dikenakannya pun masih tampak seperti main-main lho. Masih kurang menyentil tiap orang yang melanggar SOP baku ini. Ujung-ujungnya tetap aja ngeyel kan.

Lalu, bagaimana dengan kita yang sudah berupaya keras untuk tetap stay di rumah aja selama hampir 3 bulan lebih kemarin? Apa hanya akan berujung pada kesia-siaan aja? Terlebih, kondisi grafik pertambahan pasien Covid 19 yang tiap harinya sampai detik ini justru terus bertambah signifikan jumlahnya hingga menembus angka 1000 per hari. Miris enggak sih, hiks.

Masih naik-naik ke puncak gunung aja nih (Source: www.worldometers.info)

So, yuk mikir bareng-bareng!

Semoga bermanfaat, SALAM WARAS!

Ludy