Site icon Catatan Ludy

Menjalin Persahabatan Hingga Menua, Bisakah?

Menjalin Persahabatan Hingga Menua, Bisakah? Jika ditanya tentang siapa sahabat sejati saya SEJAK DULU HINGGA KINI, mungkin dengan tegas saya akan menjawab “TIDAK ADA”. Berbeda halnya, jika ditanya, “siapa sahabat sejatimu SAAT INI DAN SETERUSNYA?” terus terang saya akan menjawabnya dengan cepat dalam satu kali tarikan nafas, yakni SUAMI. Iya, pak suami. Mengapa? Karena dalam konteks ini, saya punya makna yang berbeda tentang seperti apa sahabat sejati itu sendiri. Bagi saya, baik teman ataupun kawan, tidak lebih hanya terbatas dalam kurun waktu tertentu saja.

Pictured by pexels.com

Meski, sebagian diantaranya “mungkin” pernah menjadikan saya sebagai sahabat sejati yang sebenarnya. Namun, hal itu sendiri tak lepas dari sebuah kepentingan yang mengikatkan kami dalam sebuah relasi yang ujungnya akan berakhir ketika harap sudah terpenuhi. Malah, tragisnya lagi ada juga yang berujung kekecewaan. Lantaran, ekspektasi lebih yang tak sesuai, akibat realita yang tampak dari masing-masing kepribadian kami. Sederhananya, kurang bisa menerima dan pastinya akan sulit pula untuk menerima.

Lantas, apakah masih pantas untuk disebut sahabat?

Tentang Pamer

Siapapun orangnya, saya yakin pasti ingin sekali punya banyak sahabat, tak terkecuali saya. Bahkan, saya pernah meyakini beberapa orang untuk menjadi tempat berbagi sekaligus meluapkan segala isi hati saat sekolah dulu, namun malah berakhir lose contact hingga kini. Tak ada telpon, chit-chat WA, apalagi sekadar say hi via DM, entah rasa-rasanya malah begitu canggung untuk memulai. Ditambah lagi, kondisi diri yang dinilai enggak selevel dengan mereka, tanpa diminta pun pasti langsung mundur teratur. Tanpa aba-aba.

Pernah suatu hari, tepatnya beberapa tahun yang lalu, saya ikutan “reuni” dengan teman-teman se-geng waktu SMA dulu yang berjumlah delapan orang. Awalnya sih happy ya ketemu mereka, saling bertukar kabar, lalu sharing kesibukan masing-masing. Dari situ, mulai deh yang namanya ajang pamer. Entah, dengan sengaja atau tanpa mereka sadari, kata-kata ujub pun mulai mengalir indah dari sebagian diantara kami. Beberapa diantaranya, pun termasuk saya mulai menciut nyalinya ketika ditanya tentang kesibukan dan pencapain pasca kuliah. Berhubung saya agak cuek, saya cerita aja yang heboh-heboh tentang betapa hectic-nya saya menjalani profesi sebagai reporter media cetak kala itu.

Pictured by pexels.com

Sedangkan, beberapa teman saya lainnya yang juga merasa minder ini pun memilih untuk bercerita dengan sedikit sarkas namun terkesan santai. Lantaran sadar, bahwa sebenarnya tuh mereka yang merasa tinggi ini cuma kepo doang, enggak lebih. Apalagi punya niatan untuk bantu, BIG NO! Sejak kejadian itu, tiap kali diagendakan untuk kumpul-kumpul, bisa dipastikan saya bakalan absen alias enggak bakal hadir. Mengingat, udah keduluan bete lah, enggak enak kan kalau lagi kumpul bareng teman malah pasang tampang jutek plus baper, hehe.

Dari pengalaman ini, saya jadi banyak belajar tentang bagaimana karakter orang dalam memulai pertemanan hingga akhirnya memutuskan serius untuk bersahabat dekat. Beberapa diantaranya mungkin diawali dengan kesamaan NASIB, hobi atau bahkan awalnya saling benci. Please, ini beda lho ya kalau pertemanannya dengan lawan jenis. Fokus saya disini hanya membahas pertemanan antar cewek.

Bahkan nih ya, ada lho yang awalnya saling musuhan gara-gara naksir dengan cowok yang sama, eh ujug-ujug malah jadi sahabatan lengket. Lantaran, punya selera yang sama dalam banyak hal, GILA KAN TUH! Pantesan, bisa jadi nih banyak pelakor hadir gara-gara si laki diembat sama sahabatnya sendiri, ehh. Miris, kan?

Jadi, please deh, kalau mau persahabatanmu awet atau masih mau ‘diakuin sebagai teman’ mending jauh-jauhin deh norak/riya’/pamer atau sebagainya. Daripada nanti akhirnya nyesel, terus ngunyah paku di pojokkan sendirian, kan sedih! Meski, saya sendiri tanpa sadar kalau lagi ngobrol antar personal suka ikutan juga pamer. Bisa jadi, kondisi ini terbentuk oleh pengalaman sebelumya juga kali ya (ngeles aje lu, Markonah). Teknisnya sih gini, “sebelum ditikam hidup-hidup (basically secara mental), mending gue duluan aja yang nyerang secara halus” eakkk (maafkan ya). Setuju? Toss dulu sini…

Rambu-Rambu Persahabatan

Waktu SMP dulu, saya pernah langganan majalah G*D#S. Dimana, majalah cewek ini merupakan salah satu media cetak hits yang terkenal di masanya, baik itu dari jamannya Desi Ratnasari, Krisdayanti, Dian Sastro bahkan kalau perlu jamannya Eyang Titiek Puspa kali ya. Next, di salah satu majalah yang diterbitkannya ini ada artikel yang membahas tentang persahabatan. Which is, poinnya sih gini, “mau sahabatan awet? Cobain deh, tips berikut ini!” Gituuu.

Dari artikel itu akhirnya membuat saya terus berfikir hingga dewasa ini, bahwasanya tips yang diberikan ini nyatanya normatif banget, asliii. Padahal kan, kita butuhnya yang konkrit, bukan kaleng-kaleng. Walaupun, ada sih beberapa poin diantaranya yang saya setuju dan berani meng-iyakan. Tapi, tetap aja normatif banget, alias enggak lebih dari cari aman, hehe.

Nah, kalau mau yang lebih ekstrim dan berani membuktikan seberapa penting sih arti sahabat itu sendiri. Coba deh, simak beberapa tips nyeleneh ala saya ini, yang mana bisa jadi akan menyalahi kodrat kita sebagai sahabat yang cenderung cari aman, haha. Gimana mau kenal luar dalam, wong maunya pas happy-happy aja. Giliran diajak sedih, malah kabur diem-diem tanpa pamit apalagi permisi. Langsung aja yuk, check this out!

Pictured by pexels.com

1. Berani menunjukkan kebenaran/kesalahan meskipun pahit

Meski saya enggak punya sahabat sejati versi cewek (karena, yang versi cowok jelas suami), saya punya sedikit kesimpulan tentang hal ini. Dimana, rapuhnya sebuah persahabatan lantaran sahabat dekatnya ini tidak bisa menegur/mengingatkan kesalahan yang dilakukan oleh sahabatnya. Malah, justru terkesan menyembunyikan dan bahkan mengabaikan kebenaran/kesalahan yang diperbuat oleh sahabatnya ini. Sehingga, kebenaran ini pun akan terus tenggelam, seiring dengan ketiadaan perbaikan serta nilai-nilai positif dalam diri sang sahabat.

Lambat laun, yang hadir hanyalah toxic dalam relasi mereka yang sangat tidak bermanfaat dan minim tolong-menolong dalam kebaikan. Hhhmm, yang begini nih masih pantes disebut sebagai sahabat? Toh, buat negur aja gak berani, gimana kalau terus terang. At least, enggak apa-apa kok kalau awalnya berantem, bukankah pertengkaran adalah bumbu-bumbu penyedap dalam jalinan persahabatan untuk bisa saling mengenal satu sama lain? Yuk, renungkan!

2. Sesekali perlihatkan juga kekurangan tanpa harus menjatuhkan harga diri

Menjadi topeng di depan sahabat sendiri tuh capek, percaya deh! Yuk sadar, bahwa sejatinya enggak ada kok satupun manusia di muka bumi ini yang perfect. Menjadi dirimu sendiri dan mencintai kekurangan/kelebihan yang kita miliki, secara tidak langsung dapat membuat persahabatan yang kita jalin akan semakin nyaman dan hangat. Karena, otomatis kita bakal tahu, “oh dia lagi bete nih, udah diemin aja dulu. Entar malam juga kalau diumpanin jengkol, yakin deh bakalan goodmood lagi.” Tuh kan, beres! Secara, kita udah tahu banget sisi dalam dan luarnya. Coba kalau enggak tahu, beuhh enggak berani jamin deh sahabatan bakal langgeng.

3. KEPO dan berikan hadiah

Nah, untuk yang satu ini enggak mesti setiap saat dilakukan lho ya! Khususnya nih, bagi yang udah nikah. Intensitas pertemuan dan komunikasi dengan sahabat pun pastinya enggak bakal se-rutin dulu ketika belum menikah. Makanya, untuk membuktikan kalau kita benar-benar sahabat dan masih mau ‘diakuin sebagai sahabat’, coba deh sesekali kepoin IGs or Snap WA-nya. Bahkan, kalaupun misalnya punya blog, kepoin aja dulu. Kalau tahu ternyata nih doi lagi stress or banyak pikiran bahkan sedih karena kehilangan/kejadian, cobalah berinisiatif untuk melakukan hal manis yang membuatnya sadar bahwa dia punya teman yang memperhatikannya.

Simpel, ajak aja makan bareng di tempat makan favoritnya atau bisa juga lho diem-diem orderin cofee/boba kekinian dan cemilan kesukaannya via goput. Dijamin, dia langsung mewek minta telpon/ketemuan buat curcol. Nah, adem kan!

4. Saling menerima dan menghargai prinsip

Ketika reuni geng dadakan berlangsung, salah satu personil sering banget nih absen gak ikut. Daripada suudzon melulu, mending cari tahu dulu fakta sebenarnya. Ini penting banget lho, gaes! Ketika memutuskan untuk bersahabat, kita juga mesti sadar dengan konsekuensinya yakni erat dengan penerimaan. Misal, Ohh si A enggak bakal suka nih kalau bahas topik achievement, yaudah yuk alihkan aja ke topik lain. Bisa kok bahas tentang harga cabe yang kian melonjak atau bahkan obrolin empon-empon favorit yang jadi andalan buat imun booster. Retjeh kan? Bahas investasi sambil sharing ilmu, juga bisa banget kok. Sing penting, saling menjaga hati dan perasaan biar kita dan sahabat sama-sama enak. Clear!

5. Berani memulai

Nah, jelas banget nih. Kalau enggak ada salah satu yang berani speak up buat woro-woro tanya kabar dan bikin agenda kumpul-kumpul, gimana persahabatan mau langgeng. Fix ya, ini harus ada yang berani memulai pastinya. Meski, terkadang nih kalau dari pengalaman pribadi saya ketika lagi ada yang tanya kabar via japri atau WAG, pasti deh ada aja yang minim respon atau malah krik-krik banget. Bisa jadi nih, lantaran kehadiran kita udah mulai tergantikan dengan sosok sahabat yang baru. So, siapkan hati aja dulu buat menerima kenyataan yang rupanya tidak sesuai harapan, hiks.

Nah, kamu sendiri gimana nih? Yuk, sharing! Kasih tahu juga dong, gimana sih cara sederhana kamu agar persahabatan tetap awet? Karena, saya pribadi yakin sekali beda orang pasti beda karakter. Termasuk juga, beda tipe sahabat pastinya beda pula cara mereka dalam menjalani persahabatannya itu. Akhir kata, semoga bermanfaat dan selamat hari persahabatan internasional di bulan Juli ini yaa. SALAM WARAS!