Urusan memilih pasangan, tentu bukan perkara yang mudah. Khususnya, bagi perempuan saat memilih calon suami. Karena, bagi saya pribadi, ada satu poin yang perlu diingat, yakni anak tidak bisa memilih dari orang tua seperti apa mereka akan dilahirkan. Tapi, KITA sebagai perempuan punya hak untuk memilih pasangan yang tepat bagi anak-anak kita kelak, menjadi partner hidup, sekaligus tempat terbaik untuk berbagi segala hal.
Mungkin banyak tolak ukur yang menjadi acuan kita saat memilih suami, diantaranya agama, jenjang pendidikan, background keluarga, kepribadian, dan kemapanan. Terlebih, di zaman yang penuh fitnah saat ini, kita pun mesti lebih hati-hati lagi saat memilih pasangan. Jangan sampai kita salah mengambil keputusan.
Karena pernikahan bukan hanya indah di awal dan terlihat manis seperti cerita dongeng. Namun, ikatan tersebut adalah awal dari berbagai ujian dan badai yang akan tiap pasangan lalui sebagai bagian dari proses pembelajaran hidup.
Perihal kemapanan, banyak perempuan yang menilai, bahwa salah satu indikatornya ialah calon suami mesti sudah settled dalam pekerjaannya, punya rumah, kendaraan pribadi (mobil atau motor), serta nominal tabungan yang cukup banyak. Jika demikian, maka calon suami ini layak untuk disebut sebagai laki-laki yang bertanggung jawab. Padahal, seyognyanya, tidak sepenuhnya seperti itu lho.
Lantas, bagaimana baiknya nih, mesti mapan dulu atau mapan kemudian setelah menikah? Yuk, lanjut!
Pentingkah Menilai Calon Suami dari Kemapanan?
Sedikit cerita, saat memutuskan serius dan ta’aruf dengan suami kala itu, posisi suami bekerja di bilangan Jakarta Selatan dan belum memiliki apa-apa, baik itu rumah atau kendaraan. Saat itu, dia nge-kost di dekat kantornya dan hidup berjauhan dari orang tuanya yang tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Bahkan, untuk berpergian kemana pun, dia hanya mengandalkan transportasi umum dan lebih suka berjalan kaki.
Terlebih, ketika pertama kali dia mendatangi rumah saya seorang diri untuk nazhor. Hanya bermodalkan gmaps dan busway serta angkot untuk menuju lokasi. Tidak ada kendaraan mewah apalagi barang-barang branded yang dia tonjolkan. Prinsipnya kala itu, nothing to lose, selebihnya berserah pada Allah jika memang berjodoh.
Saat di rumah saya, dengan didampingi orang tua serta bimbingan guru ngaji, saya dan suami pun mulai mengobrol. Kami berdua saling menanyakan visi dan misi ke depan dalam berumah tangga, termasuk didalamnya cara mengelola keuangan. Dari topik ini, saya dibuatnya takjub dan terkesima dengan caranya yang apik dan detail dalam urusan keuangan. Justru, hingga saat ini dari dirinyalah saya belajar banyak tentang manajemen keuangan.
Meski saat itu, dia belum punya rumah dan bahkan kendaraan, tapi dia punya cukup tabungan yang khusus diperuntukkan bagi calon istrinya jika berumah tangga kelak. Sehingga, dia tidak serta merta menyulitkan atau membebani istrinya dengan berbagai pengeluaran, walau belum punya rumah dan kendaraan. Di awal pernikahan, kami sempat berpindah kontrakan sebanyak tiga kali dan baru membeli satu buah sepeda motor.
Walau begitu, saya tetap mensyukurinya sebagai bagian dari keridhaan saya terhadap suami. Melihat suami yang terus bekerja keras, giat menabung dan tidak konsumtif, secara tidak langsung mengedukasi saya untuk bisa berbuat demikian. Darinya saya belajar untuk bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan, bukan lagi sekadar menuruti hawa nafsu.
Darinya pula saya belajar berbagai instrumen perbankan untuk menyimpan uang dan mengamankan aset. Menikah dengannya begitu mencerahkan pemikiran saya terhadap segala hal, terutama untuk teguh dalam prinsip. Saya pun merasa, bahwa seperti inilah makna visioner yang sebenarnya. Karena, dia benar-benar merangkul saya untuk belajar dan berproses bersama, kendati dari 0 dan belum memiliki apapun.
Jadi, jika ditanya, apakah calon suami harus mapan? Dengan mantap, saya akan menjawab. “TIDAK JUGA”. Karena, yang paling penting ialah visi yang jelas, mental kuat, dan punya daya juang menuju kemapanan.
Baca Juga: Pengalaman Berburu Rumah Ala Emak
Cari Tahu “Potensi Mapan” Calon Suami
Beberapa waktu lalu, muncul sebuah postingan dari @ummubalqis.blog di timeline Instagram saya yang sangat menarik perhatian. Dari foto yang dipostingnya tergambar jelas sosok sang panutan, yang tak lain suaminya. Foto ini pun makin terasa lengkap dan jelas dengan caption Ummu Balqis yang sarat makna dan penuh hikmah. Saya pun menyimak dan mencerna baik-baik tiap kata-katanya. Saking jatuh hatinya dengan pengalaman hidup beliau.
Darinya saya mengetahui ada istilah menarik yang penting untuk diketahui, yakni “potensi mapan“. Menurutnya, potensi ini lebih penting diutamakan dibanding kemapanan itu sendiri, saat memilih calon suami.
Lalu, bagaimana cara kita untuk mengetahui, apakah laki-laki ini memiliki “potensi mapan” atau tidak? Ummu Bilqis dengan mantap menjabarkan beberapa indikator yang menjadi signal dari “potensi mapan”, yaitu:
- Pemahaman yang baik tentang tujuan hidup, utamanya yang berorientasi penuh kepada Allah
- Memiliki keseriusan untuk terus mengupgrade diri
- Visioner dan punya daya juang untuk menciptakan keluarga bertumbuh yang bermanfaat bagi sekitar.
Kendati demikian, meski hidup saat ini dituntut untuk lebih realistis dalam segala hal. Tapi, jika tujuan utamanya adalah Allah maka apapun yang impossible di bumi, akan possible pada waktunya atas izin Allah. Jadi kenapa harus takut miskin, jika kita punya Allah yang bisa menjamin segalanya.
Jadi, Mapan Dulu atau Mapan Kemudian?
Jujur aja, bagi saya pribadi keduanya sama-sama penting. Namun, akan lebih baik lagi jika calon suami kita nantinya punya prinsip kemandirian dan visi yang kuat sebelum menikah. Prinsip inilah yang kemudian menjadi bekal bagi kita dalam membangun finansial yang sehat dalam rumah tangga. Tidak bergantung pada siapapun dan hanya menjadikan Allah sebagai tumpuan, untuk selalu teguh berdiri di atas dua kaki sendiri.
Meski di awal perlu bersakit-sakit dahulu, namun tak mengapa. Karena roda terus berputar, akan ada saatnya kita berada di atas untuk bertumbuh dan memberikan manfaat bagi sekitar.
Jadi, mau mapan dulu atau mapan kemudian, bukanlah masalah. Karena, laki-laki yang punya daya juang tinggi sungguh layak untuk diperjuangkan. Hayoo, benar apa benaaar? Yuk sharing!
Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat ya untuk teman-teman semua. Have a good day, SALAM WARAS!
Ludy
mapan sewajarnya lah cukup hehehe
Halooo, Mba Oliveee:)
Setujuuu banget, pas mau beli rumah uangnya ada, pas beli mobil uangnya ada, pas mau jalan-jalan uangnya adaaa, hohooo