Holaa, Mak! Akhirnya, hadir lagi kesempatan buat emak ber-curcol ria sambil berbagi sharing gaje yang “cukup” berfaedah, namun lumayan menggigit hahaa. Mengingat, hampir seminggu ini emak pengen break sementara waktu dari dunia per-deadline-an yang hampir terjadi tiap malam, bahkan sampai dini hari. Hiks, maafkan. Padahal mah, aktivitasnya seminggu kemarin cuma main sama si kecil sepanjang hari, terus malamnya saat si kecil tidur “cheating” lanjut baca buku-buku yang selama 1 tahun kemarin terabaikan, dan lanjut tidur tepat waktu. Wuaahhh, membahagiakan banget enggak sih? Eits, tunggu dulu, jujurly emak sendiri tetap aja merasa ada yang kurang gimana gitu. Merasa ada yang hilang tiba-tiba. Yup, nulis blog jawabannya. So, it’s time to become serious again, yes? Let’s started..
Cari Tahu, Perbedaan Antara Perilaku dan Kepribadian!
Ehem (mode on serius), jadi begini sedulur, pernah enggak sih kita melihat secara langsung orang tua yang marah-marah sampai ngamuk enggak jelas gara-gara perilaku sang anak yang dinilainya sudah keterlaluan? Misalnya, karena si anak mencuri, berkelahi dengan temannya, merusak barang milik orang lain, dan masih banyak lagi. Tentu, sebagian besar dari kita pernah melihat hal itu atau bahkan pernah mengalaminya sendiri secara langsung.
Lantas, kata-kata pertama yang terucap dari ayah atau bunda, ialah ungkapan yang menghujam, menghina sekaligus menghardik sang anak. Mulai dari, sebutan “anak nakal”, “anak bandel”, “anak tidak tahu diri”, “penipu” dan “perampok” yang ditujukan pada si anak. Padahal, jika kata-kata tersebut terus dilontarkan pada ananda, justru hanya akan meninggalkan jejak yang buruk dalam ingatannya. Miris memang.
So, adapun kesalahan utama yang akan kita bahas kali ini adalah tentang reaksi orang tua yang dengan “entengnya” menyerang kepribadian sang anak secara verbal, tanpa lebih dulu memahami perbedaan antara PERILAKU si anak dan KEPRIBADIAN yang ia miliki. Well, feeling guilty pastinya! Secara, orang kalau udah emosi seringkali kalap dan lupa dengan apa yang telah dilakukannya. Begitulah manusia, hhmm… hhmm…
Menarik banget nih gaes, dalam buku “Mendidik dengan Cinta” karya Irawati Istadi, case ini dijelaskan secara jelas dan detail lho. Misalnya, kata “perampok” tentu berbeda dengan “merampok”. Lah, kok bisa? Umumnya, seseorang disebut sebagai perampok lantaran memang memiliki niat yang buruk dan berprofesi sebagai perampok. Kendati demikian, perlu dipahami baik-baik bahwasanya aksi perampokan ini tidak hanya dapat dikerjakan oleh seorang “perampok” saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh seorang anak kecil yang dinilai baik-baik, which is bisa jadi sang anak emang lagi tiba-tiba aja khilaf. Dan, anak ini pun tidak merampok secara terus- menerus sehingga tidak tepat rasanya jika dia disebut sebagai perampok. Oke, sampai sini cukup jelas ya gaes.
Baca juga: Emak Kekinian Siap Membina Generasi Alfa
Nah, alangkah baiknya, jika ayah atau bunda saat dihadapkan dalam situasi seperti di atas hendaknya memunculkan reaksi yang tetap tegas namun berusaha untuk mampu menghargai kepribadian si anak. Salah satunya, yakni dengan mengatakan, “Budi, mengapa kamu bisa sampai melakukan hal ini? Memangnya, kamu lagi butuh banget uang ya?.” Intinya sih, kalem dulu jangan asal nyerang gitu aja sampai membabi buta.
Lalu, bisa aja si Budi ini jujur dan bilang ke ayah atau bundanya, “Enggak kok, Bun. Budi tadi lagi kesel banget sama Yono, makanya Budi sampai tega merampok uang dan bekal makanannya di tas.” So, saat mendengar penjelasannya pun sebisa mungkin orang tua tetap stay cool dan berusaha menunjukkan wajah empati yang disertai dengan komentar yang cukup menyejukkan hati si anak.
Anyway, ini penting banget ya gaes. Soalnya, tiap anak fitrahnya pasti ingin dihargai dan diberikan kepercayaan untuk mengungkapkan perasaannya. Sehingga, anak pun terdorong untuk lebih terbuka menyampaikan segala hal yang dirasakannya. Setelah itu, tak lupa para orang tua bisa pelan-pelan memberikan nasihat sambil menyebut sang anak sebagai sosok pribadi yang jujur dan tangguh. Hal ini, WAJIB ada. Karena, mau sebanyak apapun kesalahan PERILAKU sang anak, jangan sampai mengindahkan konsep penghargaan orang tua terhadap KEPRIBADIANnya. Mengingat, nilai-nilai tentang kepribadian anak itu wajib dijunjung dan dihargai. Dimana, selanjutnya si anak tetap harus terus diingatkan bahwa sosok pribadi yang tangguh dan jujur ini tidak baik jika melakukan perbuatan yang buruk.
Menyerang Pribadi = Runtuhkan Harga Diri
Apabila pribadinya sering dicerca dengan julukan-julukan buruk seperti anak nakal, bengal, tak tahu aturan, pencuri, bodoh, pemalas, dan sejenisnya, maka akan terbentuk keyakinan dalam diri anak bahwa memang seperti itulah sebenarnya taraf kepribadiannya. Selanjutnya ia akan merasa wajar jika berbuat nakal, toh ayah dan ibunya menjuluki dirinya demikian.
Irawati Istadi
Anyway, ungkapan diatas nyatanya memang berpengaruh banget dengan perkembangan mental anak. Pasalnya, tiap anak di masa golden age-nya merupakan peniru ulung bagi orang-orang di sekitarnya, terutama orang tuanya sendiri. Otomatis, anak-anak ini pun sejak dini akan mulai belajar untuk menilai semua hal dan termasuk dirinya sendiri, which is informasi tersebut berdasarkan pada bagaimana cara pandang ayah dan ibunya terhadap diri mereka.
Sehingga, apabila seorang anak hidup dalam cercaan orang tuanya terus menerus, maka si anak ini pun akan ter”setting” untuk terus berperilaku sesuai dengan anggapan orang tuanya selama ini. Mengingat, si anak merasa sudah tidak “layak” untuk bersikap baik, dan penilaian atas dirinya sendiri sebagai “anak nakal” pun sudah menancap kuat di alam bawah sadarnya. Adapun, satu-satunya cara yang masih dapat dilakukan untuk meminimalisir tindakannya ini adalah dengan berusaha mengubah cara pandang yang salah dalam menghargai pribadinya sendiri selama ini. Walaupun, rasanya terbilang cukup sulit, tetapi masih dapat diusahakan.
Baca juga: Drama GTM
Pentingnya Menjaga Lisan
Ada hal yang lebih penting dari itu. Sebagai orang tua memang sudah seyogyanya menjaga ucapan dan tindak laku. Terutama ucapan, karena bagi para ibu khususnya, tiap untaian kata yang mereka tujukan pada anak-anaknya akan bernilai doa yang secara tidak langsung terijabah. Maka, suka tidak suka, para orang tua pun harus menyadari hal sebaik mungkin dan betul-betul memperhatikannya dengan jeli. Jangan sampai keliru, hingga akhirnya terucap kata-kata yang akan berakibat buruk di kemudian hari. Adapun, berikut ini salah dua contoh kalimat yang para orang tua harus perhatikan:
Kalimat yang Menyerang Pribadi
- “Dasar, kamu anak bandel. Bisa-bisanya kamu mengambil makanan tanpa seijinku.”
- “Hei, kamu ini bodoh banget sih, menjawab pertanyaan 1+1 aja belum selesai sampai sekarang. Otak kamu di dengkul, hah?”
Kalimat yang Menyerang Perilaku
- “Sayang, jika kamu mengambil makanan kakak, nanti kakak bisa menangis semalaman.”
- “Nak, kamu belum bisa menjawab pertanyaan ini kah? Coba, ingat lagi baik-baik.”
Nah, dari dua jenis kalimat diatas, sepertinya sudah cukup jelas ya gaes. Bahwa, seburuk apapun itu kondisinya, jangan pernah mengucapkan kata-kata yang menyinggung pribadi sang anak. Karena, seperti penjabaran di atas, hal itu justru hanya akan berdampak negatif terhadap kepribadiannya. Oleh sebab itu, para orang tua harus terus mendorong pribadi anak agar kelak tumbuh menjadi pribadi yang positif. Serta, nilai kepercayaan yang harus ditanamkan orang tua dalam diri anak, semata-mata agar mereka bisa menjadi pribadi yang baik dan berkarakter. Semoga bermanfaat ya Mak. Salam waras!