Site icon Catatan Ludy

Cerita Tentang Ibu dan Anak Perempuannya

ibu-dan-anak-perempuannya

“Ma, aku belum selesai ngomong. Jangan ditutup dulu, aku mau jelasin dulu biar mama paham. Atau, aku ke rumah aja ya?,” tanyaku di ujung telpon.
“Enggak usah, kamu enggak usah urusin mama lagi. Urusin aja hidup kamu sama keluarga kamu!” percakapan pun selesai dengan akhir yang gusar.

Aku, yang sedang bersedih.

Tentang ibu dan anak perempuannya, terkadang hubungan keduanya tak berjalan mulus seperti pada umumnya. Terasa berkaca-kaca sekaligus begitu nyeri dalam beberapa seri kehidupan. Adakalanya, keselarasan dapat tercipta dengan baik diantara mereka, walau tampaknya pertikaian juga tak dapat dipungkiri. Kendati, harus memakan waktu yang cukup lama dengan masing-masing menelan nelangsanya yang cukup pahit.

Mama. dalam batinnya selalu tersimpan bayang dan harap terbaik untuk putrinya tercinta. Namun, nyatanya bayangan itu seringkali tak sejalan dengan apa yang menjadi tujuan anak perempuannya. Begitupun, juga dengan si anak perempuannya ini.

Credit by pexels.com

Ada asa yang ingin diwujudkan dalam hidupnya, kendati pertentangan seringkali muncul dari sang ibu. Ahhh, lelah betul rasanya. Karena keduanya tak sepaham untuk bisa mengerti. Si anak keukeuh dengan prinsip dan goals-nya. Di satu sisi, ibu pun tak mau kalah, tetap teguh pada apa yang dinilainya benar.

Teringat saya dengan berita viral akhir-akhir ini, tentang seorang artis wanita yang pernikahannya ditentang habis-habisan oleh sang ibu. Dalam pemberitaannya terlihat jelas bahwa si ibu tidak rela atas hubungan si anak dengan kekasihnya ini, hingga dia pun rela menghardik anak perempuannya itu dengan sebutan ANAK DURHAKA.

Tak mau kalah, anak perempuannya ini mengaku bahwa dia dan kekasihnya telah mengupayakan berbagai syarat dari sang ibu. Namun sayang seribu sayang, si ibu tetap ngotot untuk tidak merestui keduanya.

Alhasil, pernikahan pun tetap berlanjut, meski tak diselingi ridho dari sang ibu. (lho, kenapa saja jadi nge-lambe gini sih -_-)

Padahal, konflik kayak gini emang sudah sering terjadi sih sejak lama.

Lantas, jika sudah begini, komunikasi keduanya pun nothing, alias enggak ada artinya. Lantaran, tak menemukan titik temu. Maka, apa yang harus anak perempuan lakukan?

Baca Juga: Tentang Kerja Sama dan Budaya Patriarki dalam Keluarga

Diam Bukan Berarti Perang Dingin

Credit by pexels.com

Konflik di atas hanyalah segelintir contoh dari banyaknya konflik yang timbul dari perselisihan antara ibu dan anak perempuannya. Hadirnya konflik ini pun beragam, dimana tiap keluarga tentu punya latar belakang yang berbeda. Mulai dari, cara berpikir, prinsip, dan sudut pandangnya pun jelas tidaklah sama.

Lantas, untuk mengurai benang kusut ini, sebagai anak perempuan ada baiknya kita untuk mengalah dengan mengambil jeda sementara. Saya sendiri pun tentu pernah merasakan banget ada di posisi ini. Mengambil jeda sementara, bukan berarti mengisyaratkan munculnya perang dingin. Bukan lho ya!

Justru, melalui langkah ini, saya pribadi memaknainya untuk berpikir sembari mengintropeksi diri. Belajar memahami diri dan situasi, bahwa perselisihan antara ibu dan anak perempuannya ini mesti diselesaikan dengan win-win solution yang tepat. Baik itu dengan mencari timing yang cocok dan narasi yang efektif untuk mengkomunikasikannya. Serta, diperlukan pula kesabaran yang tinggi.

Karena, yang kita hadapi adalah ibu yang melahirkan kita ke dunia dengan segenap cinta dan pengorbanan. Maka, usahakan untuk bersikap santai, atur intonasi bicara, awali dengan kenangan yang menyenangkan untuk melembutkan hatinya, lalu mulailah berdiskusi dengan narasi yang tepat. Bisa? Insya Allah, bisa!

Baca Juga: Punya Gaya Parenting Sendiri, Kenapa Enggak?

Saat Interaksi Mulai Menjadi Toxic

Sadar, dewasa ini saya mulai mengerti, bahwa relasi antara ibu dan anak perempuannya ini menjadi penentu saat putrinya kelak berkomunikasi dengan orang-orang di luar rumah. Seringkali pula saya mendapati beberapa teman yang emosional, tidak percaya diri, pendiam, bahkan suka berkata kasar. Tidak lain, lantaran perlakuan sang ibu terhadap diri mereka, begitulah pengakuannya. Termasuk juga saya, si overthinking.

Dan kenyataannya, memang enggak enak banget jadi anak perempuan yang diberi labelling negative, dapat perlakuan enggak adil apalagi kalau udah menyangkut gender, dibanding-bandingkan, bahkan naasnya sampai berlanjut pada kekerasan fisik dan verbal. Semua perlakuan itu berasal dari sosok ibu yang diam-diam kita rindukan sisi keibuannya. Namun, yang hadir justru ialah toxic yang menyakitkan, hiks.

Ahhh, bukan maksud hati untuk terlalu cepat menyimpulkan. Namun, menurut jurnal penelitian menyebut bahwa hadirnya relasi toxic ini disebabkan oleh adanya pola komunikasi yang salah. Mulai dari, minimnya komunikasi, perbedaan cara berpikir, krisis kepercayaan, dan beberapa faktor lainnya.

Padahal, idealnya hubungan antara ibu dan putrinya ini harus dilandasi oleh komunikasi yang sehat dan rasa saling percaya. Kendati, tidak semua hal harus diceritakan dengan menyimpannya sendiri. Tidak lebih, takut kalau-kalau malah menjadi beban dan masalah baru bagi si ibu. Serta, perlu banget adanya rasa menghargai privasi satu sama lain, utamanya ketika dewasa ini.

Jujur, saya sendiri punya ibu yang “sebenarnya” suka kepo dan pengennya ikut campur urusan anak-anaknya. Mungkin, jika belum menikah kondisi ini bisa dipertimbangkan lah ya, tapi jika sudah menikah seperti saya ini tentu akan beda pula ceritanya. Dimana, segala keputusan termasuk konflik yang terjadi pada rumah tangga saya ada dalam kendali saya dan suami. Dan, saya sendiri pun merasa sangat tidak nyaman jika ada orang luar ikut campur, termasuk orang tua.

Sehingga, ibu saya ini hobi banget ngedumel terkait keputusan-keputusan saya pasca menikah. Mulai dari beli rumah, urusan anak, pengelolaan uang, dan masih banyak lagi. Mengingat, untuk hal-hal yang sifatnya privasi ini jelas saya enggak mau cerita dong ke ibu, dengan kata lain biarlah pahit-pahitnya cukup saya dan suami aja yang tahu.

Ibu dan ayah, cukup tahu beres aja tanpa perlu pusing-pusing ikut mikirin betapa ribetnya saya dan suami urus ini-itu. Namun sayang, kenyataannya justru ibu malah ngambek dan enggak terima, gara-gara merasa tidak dilibatkan.

Lantas, jika sudah begini saya memilih untuk mengalah dengan berdiam sementara, enggak mau bikin situasi makin memanas dengan debat kusir yang enggak ada ujungnya. Tragisnya, konflik kayak gini malah justru terus terjadi dengan topik yang terbilang klasik, alias itu lagi-itu lagi. Which is, membuat saya akhirnya mematung dan membisu, karena sudah lelah menjelaskannya berkali-kali, huhuhuuu.

Menggenggam Hati Ibu dengan Doa

Credit by pexels.com

Tiap kali selesai salat, tak pernah lupa pula saya panjatkan doa untuk ayah dan ibu tercinta, sambil membayangkan wajah keduanya. Tak sadar, air mata pun mulai menggelayut manja di pelupuk mata hingga akhirnya membasahi pipi. Sedih, seperti itulah rasanya. Tatkala, ada rindu yang tak tersampaikan untuk dapat saling mengakrabi satu sama lain.

Ya Rabb, seperti ini ya rasanya merindukan ibu. Kendati, si ibu masih ada di dunia, namun rasanya begitu sulit untuk menggenggam tangannya dengan erat dan mesra. Ingin rasanya hati berceloteh ria, membagikan kisah yang menghadirkan tawa dan kebanggaan, bukan justru yang membuatnya sedih.

Meski begitu, saya dan mungkin kita semua sebagai anak perempuan perlu menyadari, bisa jadi ini adalah bagian ujian dalam hidup. Dimana, apabila kita sabar akan mendatangkan pahala dan jika kita murka hanya akan mendapatkan dosa. Maka, biarlah kali ini saya merangkul dan memeluknya dalam doa, semata-semata agar kesabaran kali ini menghasilkan buah yang manis untuk dipetik.

Sembari berharap, kelak ibu dapat mengerti dan mau memahami anak perempuannya ini, tidak lagi dengan kata-kata. Melainkan, dengan sebuah penerimaan yang tulus. Begitu pula sebaliknya. Aamiin.

Ludy