Sahabat Ummi, ikhlas adalah suatu aspek yang patut dipahami sebelum melakukan hal apapun, terlebih sebelum melafazkan niat. Pasalnya, ikhlas tersebut bertujuan untuk memurnikan niat setiap insan dalam rangka bertaqarrub kepada Allah dari segala hal yang mengotorinya, khususnya dalam hal ketaatan. Sehingga, dari lahirnya keikhlasan tersebut akan lahir adanya pengabaian terhadap pandangan makhluk dan senantiasa mengutamakan pandangan sang Pencipta.
Dari hal tersebut, sepatutnya sebagai hamba Allah kita wajib mengetahui bahwasanya ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal shaleh yang didasarkan oleh sunah Rasullullah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya yang memerintahkan kita untuk ikhlas.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dalam potongan ayat tersebut, cukup tergambarkan dengan jelas bahwasanya ikhlas merupakan pintu awal sebelum memasuki gerbang niat dalam menjalankan perintah Allah, khususnya dalam hal ibadah. Mengingat, dalam konteks ini manusia seringkali sulit terlepas dari jeratan pandangan manusia terhadap amalan yang dilakukannya, dimana hal tersebut dihadirkan oleh setan. Kecuali dengan adanya ikhlas di hatinya karena Allah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh seorang saleh yang berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, ikhlaskan dirimu, niscaya kau terlepas dari jeratan setan.”
Kendati demikian, tentunya setiap manusia di dunia ini tak luput dari segala hal yang disenangi jiwa dan hati, baik itu sedikit ataupun banyak. Terlebih, jika kesenangan dunia tersebut telah bercampur dalam suatu amalan sehingga dapat mengotori kesucian amal dan otomatis keikhlasan pun lenyap pula. Padahal, sejatinya, ikhlas ini merupakan fondasi awal yang dibutuhkan untuk membersihkan hati dari segala hal yang dapat mengotori niat ibadah kita kepada Allah. Sehingga, dengan mendahulukan hadirnya ikhlas terlebih dahulu sebelum niat dapat memurnikan jiwa kita atas niatan-niatan kita untuk mampu bertaqarrub kepada Allah tanpa adanya sisipan motif tertentu yang dapat mengalihkan pandangan kita selain karena-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?’ (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Oleh sebab itu, ikhlas ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang yang sungguh-sungguh mencintai Allah dan pikirannya hanyut tertumpu pada akhirat, dengan tidak menyisakan sedikitpun ruang terhadap kecintaannya untuk dunia di hatinya. Pasalnya, ketika diri ini sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah dan akhirat-Nya, maka segala tindak perilakunya akan menjadi karakter khusus pada pemikiran dan prinsip hidupnya. Sehingga, adapun implikasi dari tindakannya tersebut akan menghasilkan keikhlasan atas seluruh amal yang dilakukannya. Lantas, sudahkan kita memiliki sifat ikhlas dalam diri ini, khususnya dalam hal bertaqarrub kepada Allah? tanyakan pada diri sendiri dan selamat bermuhasabah. Wallahu ‘alam bi showwab.
Referensi:
1. Buku ‘Tazkiyatun Nafs’ karya Dr. Ahmad Farid. Taqiya Publishing, Solo: 2015.
(Ummi Online)