Sebelum menikah, banyak hal yang terlintas di benak saya tentang makna dan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Seringkali saya bertanya pada diri sendiri, seperti apa sih kehidupan rumah tangga yang bahagia itu? Apakah mereka yang dianugerahi materi melimpah, pasangan yang rupawan, keturunan yang banyak atau bahkan kedudukan yang tinggi?
Namun, terlepas dari itu semua saya pun mulai menyimpulkan bahwasanya tiap pasangan punya latar belakang, takdir dan cara yang berbeda-beda saat mengarungi bahtera didalamnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan usia rumah tangga yang masih terbilang baru, yakni empat tahun kurang. Cara berfikir saya akan bayangan rumah tangga yang bahagia itu pun mulai terlihat jelas. Dan, tentu saja, lantaran saya pribadi tengah menjalani prosesnya.
Dimana, proses ini bukanlah hal yang mudah. Melainkan, terbilang sulit dan penuh kehati-hatian. Didalamnya pula melibatkan banyak rasa dan emosi antara 2 pihak yang terikat. Meski sulit, asal ikhlas dan saling percaya terus mengembang, maka sesulit apapun ujiannya pasti terlalui.
Pergi untuk kembali pun kadang menjadi pilihan, manakala salah satu pihak tengah gusar. Namun, jika kepergian itu hanya sesaat demi meredakan emosi si dia, kenapa tidak? Ketimbang, harus terus bersama tetapi lisan dan sikap saling menyakiti satu sama lain hingga menyisakan luka. Namun, kembali lagi, itulah pilihan.
Tiap pasangan punya caranya sendiri untuk menepis badai dalam biduk rumah tangga mereka. Lantas, bagaimana dengan saya sendiri? Entahlah, mungkin pada bagian berikutnya akan saya ungkapkan agar tak curhat melulu, hehe.
Hargai dan Bahagiakanlah Aku!
Aku disini bukan hanya berlaku untuk si istri saja. Melainkan, juga wajib berlaku pada suami dan anak-anak. Percaya atau tidak, hingga kini saya amat percaya bahwasanya rumah tangga yang bahagia itu akan lahir dari para penghuninya yang hatinya diliputi rasa bahagia, saling menyayangi dan memiliki satu sama lain. Didalamnya, ada dorongan nurani untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lain, tanpa diminta sedikitpun.
Terlebih, dari suami dan istri yang bahagia inilah kelak akan melahirkan anak-anak yang juga bahagia lahir dan batin. Oleh sebab itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah hendaknya dua insan ini saling menyamakan visi dan misi satu sama lain. Termasuk didalamnya, menyamakan standar tentang makna dari esensi bahagia itu sendiri.
Karena, sederhananya bahagia itu lahir dari diri kita dan bagaimana cara kita untuk menciptakan bahagia itu. Tinggal kita memilih, ingin memolesnya dengan standar yang bernilai ‘wah’ atau malah dengan hal-hal yang teramat retjeh namun menenteramkan hati. Lantas, silahkan pilih dan temukan standar bahagiamu!
Menyertainya dalam Suka Maupun Duka
Mungkin banyak diantara kita yang memilih pasangan saat si dia berada di puncak kejayaan, dengan alasan cinta juga butuh modal gaes. Namun, tidak sedikit juga dari kita bahkan memilih untuk siap sedia berjuang bersama dari titik nol, tak lebih sebagai pembuktian cinta. Dan, bagi saya hal inilah yang perlu kita cermati.
Karenaaaa… Banyak lho, di saat pasangan bangkrut dan mendadak kere, eh tiba-tiba si istri minta cerai. Alasannya, udah enggak sanggup lah, enggak cinta lagi lah dan beribu alasan lainnya yang dikemukakan secara mengada-ada dari A sampai Z. Hiks, kasihan ya!
Bahkan, ada juga yang dengan sengaja meninggalkan pasangannya secara tiba-tiba, dengan dalih si dia penyakitan, buruk rupa atau bahkan mirisnya lagi lantaran infertilitas alias mandul. Dan, begitulah bagian terpahit yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu pada tiap rumah tangga. Maka, oleh sebab itu penting untuk kita garis bawahi agar senantiasa MEMPERSIAPKAN HATI.
Mengapa?
Karena, dengan sedari awal kita telah mempersiapkan hati untuk pasangan, maka berbagai ‘pemakluman’ yang akan hadir ini pun kemungkinan besar dapat kita terima. Mempersiapkan hati dalam konteks ini ialah kita telah sadar sejak awal bahwa pasangan kita bukanlah malaikat atau bahkan nabi yang suci dari dosa. BIG NO! Pasangan kita adalah manusia yang sewajarnya memiliki banyak kelebihan dan kekurangan, begitupun juga dengan kita.
Sehingga, kita mesti camkan hal itu baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerah dalam menyertai si dia dalam segala kondisi. Pahitnya gini deh, kalau memang dari awal sudah ragu untuk membersamai, toh lebih baik jangan dilanjutkan untuk menikah. Ketimbang, sepanjang perjalanannya terus berurai air mata, kan kasihan. So, percayalah gaes enggak enak banget lho ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya, hehe.
Bekerja sama untuk Saling Membahagiakan
Ibarat koentji keberhasilan, kerja sama bagaikan perisai yang mampu melindungi diri dari berbagai guncangan yang hadir baik dari dalam maupun dari luar. Kehadirannya, bukan lagi sekadar menghangatkan tapi lebih dari itu, yakni menguatkan. Dan, bagi saya sendiri kerja sama ini hadir manakala dua belah pihak sudah saling memahami, memaklumi dan mampu mengelola emosi satu sama lain.
Khususnya dalam hal memperjuangkan kebahagiaan. Nah, adanya kebahagiaan ini penting banget lho dalam sebuah rumah tangga. Maka, untuk mewujudkannya pun butuh yang namanya kerja sama untuk saling berjuang. Sehingga, bukan lagi sekadar memerdekakan ego dan saling berselisih paham, guna meminta diri untuk dipahami dan dimengerti seutuhnya.
Well, kalau satu sama lain saja saling menuntut untuk dimengerti, jalani saja hubungan ini layaknya percintaan ala bocah. Bukanlah hubungan yang dibumbui dengan kematangan diri untuk saling mendewasakan ego. Dan, dari sini saya belajar bahwa hubungan pernikahan yang sehat itu lahir dari bagaimana tiap pasangan dapat memahami, memaklumi dan saling menerima segala kondisi yang bahkan terburuk sekalipun.
Meski dalam perjalanannya banyak aral melintang, asal cita-cita untuk saling membahagiakan itu hadir, insya Allah kerja sama untuk memperjuangkan kebahagiaan itu pun akan menguat seiring dengan berjalannya waktu. Jadi, kuncinya ialah yakin, saling percaya dan cintailah segalanya yang ada pada pasanganmu ya gaes!
Genggam Tanganku Erat-Erat
The last but not least, adapun maksud dari ungkapan di atas ialah hendaknya tiap pasangan memiliki cita-cita untuk dapat MENUA BERSAMA. Jujur, saya pribadi punya cita-cita yang rasanya terbilang cukup egois, yakni ingin menghabiskan waktu di hari tua bersama suami sambil melakukan perjalanan ke berbagai tempat, baik yang sudah pernah dikunjungi maupun yang belum sekalipun. Just it!
Mungkin, kedengarannya agar retjeh sih! Tapi, bagi saya pribadi disanalah poin utamanya, yakni sembari mengulang memori perjalanan rumah tangga kami berdua saja saat menua nanti. Karena, saya sadar betul bahwa penyakit pikun akan menjadi momok yang kerap dialami oleh para lansia. Oleh sebab itu, saya ingin pada saat itu bisa duduk berdua (saja) dengan suami sambil membuka tiap lembar halaman album foto dan bercengkerama, berbagi kisah tentang masa lalu didalamnya. Ahh, sweet banget sih!
Finally, bagaimana dengan kamu? Sudah temukan cara yang tepat untuk terus dapat memahami pasanganmu? Ditunggu sharingnya yaaa. Semoga bermanfaat, SALAM WARAS!
Ludy
Terharu sama bahasan tentang pasangan. Terasa betapa selama ini Allah sudah menganugerahkan keluarga yang bahagia pada saya.
Dari yang mba tuliskan diatas, saya sering mengingatkan diri sendiri, dan juga mengingatkan adik2 yang akan menikah atau yg baru menikah untuk selalu menyiapkan hati, harus bahagia supaya anak2 juga bahagia, dll.
Semoga kita selalu bersyukur ya mba. ^^
Terimakasih Mbak, sangat bermanfaat nie untuk kita2 yg belum menemukan belahan jiwa wkwkwkw
Jasi sedikit mengerti cara mengarungi rumahtangga nanti, semoga di pertemukaan dg yg baik dan soleha 🙂 hehe
Ya mbak intinya saling bekerjasama apapun tujuannya ya di rumah tangga ini, bukan hanya sepihak
setuju, makasih sharingnya
selain yang mbak Ludy tulis diatas ada lagi kalau menurutku, mental baja dan saling menjadi pagar badan untuk pasangan. Ngga selamanya suami dan istri dalam “posisi baik2 saja” dari lingkungan luar
Kalau ditarik benang merahnya, hal yang paling penting dari semua ini adalah komunikasi, terbukalah pada pasangan dalam segala hal karena dengan sikap terbuka kita bisa lebih saling mengerti 🙂
kalau aku sih koentji-nya ada di komunikasi. apa aja aku ceritain. suami juga sih. mau nyaman atau nggak ya aku bilang aja blak-blakan. memahami itu butuh proses, menurutku nih, proses awal untuk bisa paham ada di komunikasil
kalau komunikasinya kacau, gimana bisa paham satu sama lain? gimana bisa saling membahagiakan?
menikah artinya bukan hanya menyatukan 2 insan, tapi juga 2 rasa, 2 pikiran, 2 ego, 2 kekuatan dan kelemahan, yanggggg butuh berbulan-bulan bahkan berbulan-bulan dalam proses menjadi sama-sama paham & mengerti