Hidup adalah pilihan dari suatu tujuan. Dalam kehidupan yang fana ini tiap-tiap insan dapat memainkan berbagai peran. Banyak peran dapat dilakoni, demi mempertahankan eksistensi hidup. Entah, mau menjadi ia yang baik atau ia yang jahat. Semua peran, tergantung dari mana insan tersebut terwarnai. Sehingga, dari sumber itu lah dapat melahirkan peran-peran yang epik serta menyayat hati.
Sekali lagi, hidup adalah bagaimana tiap insan dapat memunculkan perannya tergantung dari mana asal muasalnya ia terwarnai.
Jika pilihannya menjadi Si Baik, dengan sikap bawaannya yang sabar, penyayang, penuh pengertian dan suka menolong. Maka bersiaplah, untuk menjadi pihak yang akan selalu tersakiti oleh si Jahat. Lantas, mengapa? Karena, Si Baik tidak dapat melakoni beberapa peran yang hanya dapat dilakukan oleh Si Jahat. Beberapa peran tersebut sangat ulung diperankan oleh Si Jahat, seperti penipu, perampok, koruptor, dan lain-lain. Sehingga, Si Jahat dalam konteks ini dikatakan dapat ‘berbuat semaunya tanpa aturan’, lantaran sifat bawaannya yang tak suka dikekang.
Lantas, bagaimana dengan Si Baik? Penting untuk selalu kita ingat, bahwa kebaikan yang terorganisir mampu mengalahkan kejahatan yang juga terorganisir. Dan, inilah poin yang perlu digarisbawahi yakni, orang-orang baik semestinya berkumpul dan menjadi suatu kekuatan besar untuk mengalahkan orang-orang jahat. Sehingga, tidak akan lagi berlaku Si Baik selalu disakiti oleh Si Jahat.
Si Baik mungkin tidak akan mendendam, namun dalam dirinya selalu terngiang afirmasi positif yang akan membawanya menjadi pribadi yang kuat dan sabar. Sehingga, dia pun tidak mudah marah karena selalu meyakini bahwa segala perbuatan baik atau pun buruk pasti ada balasannya. Begitulah afirmasi positifnya.
Lalu, bagaimana halnya dengan Si Jahat?
Dia yang suka berbuat semaunya tanpa aturan, memiliki sikap bawaan yang teramat buruk, yakni pemarah, egois, licik, sombong, dan masih banyak lagi. Dalam kehidupannya, Si Jahat selalu dipenuhi dengan ambisi-ambisi pribadi tanpa memperdulikan adanya pihak-pihak yang tersakiti, dalam artian oportunis.
Dan, sikap itulah yang selalu menjadikan Si Baik sebagai korban utama dari otak kejahatan Si Jahat. Lantaran, Si Jahat selalu menghalalkan segala cara demi tercapainya suatu tujuan serta mampu bermain muka dengan Si Baik alias bermuka dua. Mirisnya, Si Baik acapkali tidak menyadari kebusukan tersebut. Mengingat, prasangka baik selalu menaungi dirinya. Dan, oleh sebab itu lah Si Baik selalu menjadi pihak yang terzalimi. Oh, sungguh kasihan.
Satu di antara nilai-nilai kehidupan yang dapat kita pelajari dari Si Baik, yakni mampu memaafkan dengan ikhlas meski hati tersakiti, lantaran Si Baik tak mau mendendam. Naasnya, sikap itulah yang senantiasa dimanfaatkan oleh Si Jahat dari sisi positif Si Baik. Sedih memang, namun hidup selalu berotasi, berharap skala kehidupan Si Baik berada di puncak kemenangan. Dalam artian, Si Baik ingin mengajak Si Jahat untuk mengenal apa itu Baik dari dirinya, sehingga tertularlah nilai-nilai kebaikan tersebut.
Namun, apa daya hidup telah mentakdirkan adanya iblis untuk selalu berbuat jahat. Demikian juga Si Jahat. Tiada guna berupaya, dalam diri Si Baik berharap agar kelak Si Jahat tidak di tarik ke neraka Nya atas ulahnya selama ini. Nyatanya, neraka adalah tempat terbaik bagi Si Jahat untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Sungguh ironi melihat kenyataan tersebut. Harapnya pun tak putus, karena Si Baik selalu optimis kelak Si Jahat akan menjadi Si Baik pula. Semoga pintanya tercapai. Aamiin