Dulu, sewaktu kecil, sebuah ajaran budi pekerti untuk menyayangi lingkungan sudah terpatri begitu kuat pada anak-anak seusia saya kala SD. ‘Jangan buang sampah sembarangan’, menjadi sebuah tagline yang harus selalu diingat demi menjaga kelestarian alam di masa depan. Sehingga, membuang sampah pada tempatnya menjadi sebuah habit yang tertanam demi menjaga keutuhan alam agar terus berkelanjutan.
Namun sayang, saat ini tagline tersebut seolah meredup, karena membutuhkan syarat untuk dapat menyempurnakannya. Ajaran untuk tidak membuang sampah, bukan lagi menjadi acuan dasar untuk bisa seutuhnya menjaga kelestarian bumi agar tetap ‘hidup’. Dua puluh lima tahun yang lalu dengan saat ini, tentu terhitung jauh dan banyak hal yang telah berubah. Termasuk bumi beserta isinya.
Kini, ada syarat lain yang menanti kita untuk bisa menghidupkan bumi agar tetap lestari. Meski tak sempurna, namun selalu ada jalan untuk dapat menjaga keutuhan didalamnya. Seperti, keanekaragaman hayati yang patut kita lindungi.
Biodiversitas Kita: Dulu, Kini, dan Nanti
Sejak dulu, Indonesia dikenal luas sebagai negara megabiodiversitas kedua terbesar di dunia, setelah Brazil. Anugerah ini tentu tidak didapatkan secara cuma-cuma, banyak faktor terkait yang kemudian menjadikan Indonesia kaya dengan tingkat biodiversitasnya yang tinggi.
Banyak peneliti menyebut, posisi negara Indonesia yang berada di daerah tropis, lalu dilalui oleh garis khatulistiwa dengan posisi geologisnya yang mempertemukan antar lempengan tektonik. Menjadi landasan kuat, mengapa negara kita bisa menghasilkan variasi genetik yang beraneka ragam. Mulai dari hewan, tumbuhan, hingga mikroorganisme.
Beruntung sekali, beberapa waktu lalu saya dan teman-teman #EcoBloggerSquad berkesempatan untuk belajar, menyelami kembali topik keanekaragaman hayati beserta problematika didalamnya. Bersama Ibu Rika dari Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati), saya dan teman-teman mendapat banyak insight menarik yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Apalagi, jika sudah menyangkut perubahan iklim beserta dampaknya yang mengintai biodiversitas kita saat ini. Tentu, bahayanya tidak main-main. Dapat meluluhlantahkan sekaligus merenggut kehidupan yang seharusnya lestari dan berkelanjutan. Terlebih, krisis iklim global yang kita alami beberapa tahun terakhir ini, dampaknya sudah sangat terlihat jelas. Membuat beberapa diantaranya punah, lantaran tak sanggup bertahan.
Lantas, ancaman apa yang mengintai keanekaragaman hayati kita kini? Sehingga, membuat beberapa spesies sulit untuk bisa toleransi di habitatnya. Penasaran? Yuk, lanjut!
Dampak Krisis Iklim Terhadap Biodiversitas
Bicara soal biodiversitas, melalui online gathering kemarin Ibu Rika kembali mengingatkan, ada tiga tingkatan keanekaragaman hayati yang saling terkait. Pertama, keanekaragaman ekosistem yang didalamnya berupa keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan. Dimana, makhluk hidup bisa leluasa berinteraksi dengan lingkungan fisiknya.
Tingkatan kedua ialah keanekaragaman spesies, mencakup semua organisme dengan jenis berbeda satu sama lain yang menempati ekosistem. Yang terakhir, tingkatan ketiga adalah genetik, yakni keanekaragaman individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetis antar individu.
Adapun, penyebab utama yang memicu hilangnya keanekaragaman hayati, antara lain hilangnya habitat asli, munculnya invasi spesies asing, polusi, meningkatnya populasi manusia di muka bumi, dan eksploitasi berlebih dalam perdagangan satwa langka.
Dibalik itu, ada kebijakan dan pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, serta gaya hidup konsumtif yang turut memudarkan kearifan lokal dalam negeri. Ditambah, makin sedikit pula jenis/varietas langka yang dibudidayakan. Belum lagi, di sektor pertanian/perikanan saat ini yang kerap membutuhkan input tinggi, berupa pupuk, pestisida, pakan dalam jumlah banyak, yang berujung pada erosi genetik/plasma nutfah. Rasanya miris sekali melihat realita tersebut di lapangan.
Dan, terjadinya perubahan iklim makin menyempurnakan ancaman keanekaragaman hayati di muka bumi ini. Dimana, perubahan suhu global mempengaruhi kehati dengan dampak dan skala kerusakan yang beragam, baik terhadap gen, jenis, komunitas, dan ekosistem (Permesan, 2006; Bellard dkk., 2012). Sedihnya lagi, perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi saat ini, bersumber dari emisi gas rumah kaca yang tak terkendali. Utamanya, berasal dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia yang menjadi penyumbang terbesar emisi nasional.
Membangun Kesadaran dengan Aksi Nyata
Seperti yang sudah saya sampaikan di kalimat pembuka, tagline ‘jangan buang sampah sembarangan’ kini tidak lagi bisa berdiri secara utuh. Terdapat syarat khusus untuk bisa optimal dalam menjalankannya. Semata-mata demi mensukseskan agenda penyelamatan lingkungan agar tetap lestari dan bisa berkelanjutan.
Membangun kesadaran membumi amatlah penting dan mesti diwujudkan dengan aksi nyata yang sepadan dengan lingkungan. Sebelum, online gathering berakhir, Ibu Rika menegaskan beberapa poin penting yang perlu dicatat terkait hal ini, antara lain:
- Menekankan kesadaran akan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati melalui pendidikan berbasis keanekaragaman hayati sejak dini
- Mengubah gaya hidup: menjadi konsumen hijau, konsumsi pangan lokal, mempertahankan budaya makan lokal, menerapkan eco living
- Menjadi “agent of change” yang konsisten mendorong adanya perubahan di masyarakat untuk lebih peduli lingkungan.
Gimana teman-teman, sudah cukup jelas bukan? Yuk, mulai dari diri sendiri dan ajak juga yang lainnya untuk melakukan perubahan demi bumi yang lebih baik.
Semoga, catatan saya kali ini bermanfaat ya untuk teman-teman semua. Have a good day, SALAM WARAS!
Ludy