Nomaden 'Lyfe' As Contractor

Holaaa, Mak! Khususon buat edisi kali ini, emak mau berbagi sedikit cerita yang maybe kedengarannya sedikit berfaedah. Tapi, ada poin pembelajaran penting yang bisa diambil dari tulisan ini, especially for newlywed, hehee. Lho, emangnya emak mau bahas apa sih? Okay, daripada makin penasaran, cuss ah kita mulai.

Pictured by pexel.com

Beginning, as a newlywed, pastinya punya banyak banget planning tentang harapan dan visi misi terkait konsep rumah tangga yang diinginkan. Baik itu berupa rules of relationship, momongan, finansial yang matang, seputar aset, dan masih banyak lagi. Namun, enggak semua pasangan suami istri memulai itu semua dalam keadaan yang mapan, sehingga mau tidak mau harus berjuang bersama-sama mulai dari titik nol. Bahkan, banyak pasutri diantaranya yang rela bersusah-susah dahulu asal makan tetap sepiring berdua, tsaahh. Please deh, namanya juga newlywed jadi wajar aja kalau lagi anget-angetnya, hehee.

Next, emak mau sedikit sharing tentang pengalaman emak sebagai ‘contractor’ selama hampir 2 tahun. Eits, tunggu dulu gaes, ‘contractor’ disini maksudnya bukan as a job yaa, yang kerjanya bikin gedung apalagi jembatan gitu lah. But, maksudnya disini adalah sebagai pasutri yang tempat tinggalnya ngontrak dan nomaden dalam beberapa waktu tertentu alias berpindah-pindah enggak menetap selamanya di tempat tersebut. Dan, kalau ditanya capek apa enggak hidup nomaden kayak gitu, pastinya capek banget, Mak. Secara, barang pindahannya terbilang banyak, belum lagi makan waktu dan tenaga banget buat ngurusin pindahan. Okay, sebelum lanjut, emak tarik napas dulu yaaa, hehe.

Rented House Part1

Dimulai dari Oktober 2015, alhamdulillah sejak saat itu status emak mulai berganti yang awalnya as a singlelillah beralih statusnya menjadi “bini orang”. Pertama kali, terdengar lucu sih dan agak awkward gitu. Secara, biasa tidur sendiri, eh tiba-tiba sekarang ada yang nemenin. Enggak hanya itu, ada hal lain yang lebih penting dan menjadi prioritas emak dan suami saat itu, yakni MANDIRI. Maksud mandiri disini adalah, mandiri dalam segala hal, enggak cuma soal finansial aja. Namun, maknanya lebih penting dari itu, yakni kami ingin memulai hubungan baik tanpa ada campur tangan dari pihak manapun, sehingga kami memulainya untuk tidak tinggal satu atap dengan orang tua. Meskipun, saat itu kondisinya orang tua emak sudah menyiapkan kamar khusus sampe-sampe buatin kamar mandi di dalam segala, yang tujuannya agar kami bisa tinggal bersama mereka.

Namun, kembali lagi, itu tidak mudah Fergusyooo. Kami berdua pun sudah bertekad sekeras baja, halah. Apapun itu, kamu sudah keukeuh dengan pendirian kami untuk tidak merepotkan orang tua satu sama lain. Hingga akhirnya, kami pun memutuskan tinggal di sebuah rumah kontrakan petakan yang sizenya pun terbilang RSS. Apa itu RSS? Rumah Sempit Sekali, bahkan kalau kata mamanya emak buat selonjoran pun kayaknya sulit buat dua orang, wkwkkwkw. Enggak usah dibayangkan deh gaes, betapa sempitnya kontrakan rumah kami saat itu. Padahal, saat itu barang rumah tangga kami sudah terbilang banyak, yaiyalah dapat dari kado nikahan hahaha. Adapun, lokasi kontrakan kami saat itu jaraknya terbilang dekat dengan rumah ortu emak. Mengingat, hal itu merupakan request khusus dari ortu saya. Sehingga, mau tidak mau dengan berat hati, emak pun mengiyakan permintaan mereka.

Pictured by pexel.com

Oh iya, saat itu suami belum kepikiran buat beli rumah padahal jujurly kalau doi mau, bisa aja. Tapi, berhubung doi orangnya sangat idealis soal per-RIBA-an, akhirnya sambil menabung hingga cukup untuk membeli rumah yang layak, emak pun dengan setia bersabar menunggu. Somehow, emak enggak sedih kok malah bersyukur sekali dengan prinsip suami yang seperti itu, karena baginya menghindari mudhorot jauh lebih penting ketimbang harus gengsi di atas nafsu. Well, kembali lagi ke masing-masing orang dan situasinya ya gaes, hehee. Karena pastinya berbeda. Kendati demikian, emak dan paksu pun hanya bertahan tinggal sebulan di kontrakan petakkan itu. Alasannya, enggak lain emang karena sempit dan pengap, hahaha. Pasalnya, lokasi kontrakan tersebut persis di dalam gang sempit dan minim pencahayaan. Sehingga, membuat kami pun tidak nyaman tinggal didalamnya.

Rented House Part2

Tak lama setelah itu, berbekal info –yang lagi-lagi– dari mama, kamipun pindah ke sebuah kontakan petakan (again) yang kali ini berbeda dengan sebelumnya, yakni lokasinya tepat berada di pinggir jalan dan lumayan besar untuk ukuran kami berdua. Meskipun, lagi-lagi jaraknya masih terbilang dekat (banget) dengan rumah ortu emak. Saat itu, emak sempat berpikir, gimana mau mandiri kalau hal kayak beginian aja masih diatur-atur, xixixi. Dan, seperti itulah kesedihan saya waktu itu, lantaran saking sulitnya mama melepas saya untuk tinggal jauh-jauh dari rumah, terlebih memang emak dekat banget sama emak, hiks. Tapi, mau apa di kata, emak sudah kadung ngotot untuk bisa mandiri after nikah.

Oh iya, di rented house yang ke 2 ini kami pun hanya bertahan sampai 1 tahun gaes. Why? Banjir, Mak. Udah mana, pas itu lagi hamil gede. Bayangin dong, lagi hamil gede terus sendirian di rumah ngamanin barang-barang kan kerasa banget sedihnya. Tapi, enggak sampe nunggu lama, bala bantuan dengan cepat datang dari para tetangga dan keluarga yang baiknya enggak ketulungan. Hiks, bikin terharu kalau diingat. So, tanpa pikir panjang, keesokan harinya emak dan suami pun langsung survey ke rumah kontrakan (again) baru untuk kami tempati selanjutnya. By the way, di rented house yang ke 2 ini, tetangganya supeeerr baik. Bahkan, sampe sekarang emak belum bisa move on sama ibu-ibu disana yang selalu murah hati dan siap sedia membantu emak. Kangen ihhh.

Rented House Part3

Gile, emak enggak nyangka, bakal ngalamin nomaden lyfe as contractor kayak gini. Bayangin dong, ini yang ke 3 kalinya emak pindah kontrakan dengan barang bawaan yang super banyak, huhuu. Dan, lagi hamil gede pulaa, siap-siap lahiran hahaa. Oh iya, di rumah kontrakan yang ke 3 ini bisa dikatakan gede banget dan berada di dalam kawasan komplek veteran. Serta, lokasinya pun enggak dekat rumah ortu lagi yang bisa tinggal ngesot aja sekali gesek, lantaran beda kelurahan dan kecamatan. Jujurly, rumahnya enak sih, tapi emak enggak terlalu betah tinggal disana. Soalnya, tetangga depan sama samping rumahnya terbilang rese.

Sumpah demi apa, kerjaannya ngatur mulu. Mentang-mentang eike paling muda disana dan maybe emak enggak selevel sama mereka yang tajir melintir. Malesin banget pula, dikit-dikit emak dan suami “terlihat oleh mereka” seolah-olah ada aja yang salah. Padahal, so far kami sudah berbuat sebaik mungkin sebagai tetangga, tapi tetap aja enggak meaning buat mereka. Nyebeliinn! Maka, sejak saat itu, kami berdua pun memutuskan untuk menjadi warga komplek yang ansos. Bukan tanpa alasan, tapi memang begitulah keadaannya. Sedih sih, mana perih banget terus nyesek pula. Ditambah juga, abis lahiran which is mood naik-turun kayak roller coaster, sehingga makin enggak betah aja tinggal disana dengan kondisi tetangga yang demikian. Pengen pulang, Makkkk!

And, Finalleehhh…

Pictured by pexel.com

Sampai suatu hari di bulan Mei 2018, keajaiban pun datang. Allah memberikan rejeki dari arah yang tak diduga-duga, yakni Allah memampukan kami untuk bisa membeli sebuah rumah yang cukup layak di perumahan sekitar Bekasi Timur. Amazing banget, emang ya kalau jodoh enggak kemana, semuanya terasa mengalir gitu aja dan dimudahkan, alhamdulillah. Hingga kini, rasa-rasanya enggak bisa berhenti untuk bersyukur sama Allah. Meski, masih dalam masa adaptasi, emak minta doanya ya gaes semogaaa tetangga-tetangganya enggak rese dan bisa nyaman sampai seterusnya disini, aamiin.

Last but not least, emak punya sedikit tips buat kamu yang pengen cari kontrakan, tapi gak asal-asalan. Nah, kira-kira apa aja sih tipsnya? Ini dia selengkapnya…

  1. Sesuaikan dengan budget yang ada di dompet, jangan sampe maksain diri buat sewa kontrakan yang terbilang “mevvah” tapi kantong lo kere abis-abisan tiap bulan.
  2. Cari tahu kondisi rumah secara detail, mulai dari kondisi air, listrik, bangunan rumahnya masih oke atau enggak, bahkan kalau perlu tanya dulu penyewa kontrakan sebelumnya kayak gimana. Jangan sampai, kita pas nempatinnya jadi berasa horor lantaran ada “something” yang sengaja disembunyikan.
  3. Penting nih, mesti lihat tetangga kanan-kiri. Kira-kira tipe-tipenya kayak gimana. Pastinya, enggak asik dong kalau pas udah nyewa eh baru ketahuan kalau tetanggaan sama orang psycho atau bandar narkoba. Amit-amit dah, ngeriii!

So, emak cukupkan sampai disini dulu yaa, saran emak simpel aja jangan memaksakan diri untuk suatu hal yang kamu tidak mampu didalamnya dan bahkan bernilai mudhorot. Yakin aja sama Allah, insya Allah, Allah kok yang akan memampukan. Karena, sejatinya tugas kita adalah yakin dan ikhtiar sepenuhnya hanya kepada Allah. Bismillah, lillah. Semangaat ya Mak, salam waras!

Previous post Menilai Perilaku dan Pribadi dalam Menegur Anak
Next post Me And #10yearchallenge

9 thoughts on “Nomaden 'Lyfe' As Contractor

  1. Waaaah barokallahu fiik ❤. Kami dulu juga ngontrak sekitar 4 tahun sebelum akhirnya bisa bangun rumah sendiri. Alhamdulillah bisa tetap bertahan tanpa harus RIBA.

    1. Wahh, barakallah mbakkuuu, saluuut. Iyaa mba bener bangett, bismillah kita cari berkahnya ya mbaa, saya selalu sedih kalau dengar cerita-cerita kayak gini. Karena ngerasain banget secara langsung kasih sayang Allah terlebih dalam hal rejeki, hehee. Thanks banget ya mbaa buat sharingnya 😍

    1. Wkwkwkk, saran guhe pokoknya kudu hati2 kalau mau cari perumahan. Apalagi yg berlabel syariah dan indent pula, soalnya banyak banget yg tipu-tipu #pengalaman hahah, stay aware yaaa qaqaa

Leave a Reply

Social profiles