Membenci tidak mesti melulu dirasakan terus menerus hingga akhirnya dibawa mati. Membenci nyatanya merupakan ujaran terhadap suatu hal manakala seseorang belum mengenal lebih dalam akan sosok yang dibencinya.
Maka, sudah sepantasnya kita menyadari makna dari hadits Abu Hurairah, yaitu Rasulullah SAW bersabda:
“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.”
Hal ini penting untuk kita garis bawahi, mengingat fenomena nyinyir di era digital yang semakin marak dan ramai menimbulkan berbagai prasangka negatif hingga menyemai benih-benih kebencian satu sama lain. Padahal, sebagai sesama umat muslim diibaratkan satu tubuh, jika salah satu diantaranya merasakan sakit, maka yang lain pun juga ikut merasakan sakit. Sehingga, dalam membina hubungan sesama manusia hendaknya bersikap sewajarnya, tidak berlebihan dalam mencintai ataupun membenci.
Lalu, sadarkah kita bahwasanya menjadi pribadi yang pembenci itu berat? Mengapa bisa dikatakan berat, karena dalam hatinya tersimpan banyak beban, penyakit hati yang berlebih serta kebusukan hati yang bernanah. Adapun, jika hal ini dibiarkan berlarut-larut dapat menjerumuskan pelakunya dalam kesengsaraan hidup yang bertubi-tubi, hingga tiada teman berbagi lantaran hatinya dipenuhi kebencian yang berlebih terhadap apapun.
Ketiadaan teman inilah yang akhirnya membuat si pembenci merasakan kesendirian dan terkucil. Jiwanya hampa dan kosong. Ibarat, hidup segan mati tak mau. Lambat laun, ia mulai berpikir dan merenung dalam kesendiriannya. Menyadari bahwa sejatinya, apa yang ia perbuat selama ini bukanlah tujuan dari kehidupan yang sesungguhnya.
Dikisahkan, salah satu sahabat rasul sekaligus khalifah, Umar Bin Khattab awalnya terkenal di kalangan Quraisy sebagai sosok yang kejam, bengis dan amat menentang ajaran rasul. Bahkan, sampai pernah suatu hari berniat ingin membunuh Nabi Muhammad SAW lantaran saking begitu membenci seruannya terhadap Islam.
Namun, apa yang terjadi kemudian pada Umar? Allah SWT memberikan hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki, termasuk Umar. Atas doa yang diucapkan sang rasul, Umar pun kemudian luluh hatinya, santun perangainya dan menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Dan, tak tanggung-tanggung Umar pun mengabdikan hidupnya menjadi sosok terdepan yang melindungi dan membela rasul dalam keadaan apapun.
Dan, inilah letak dari Hidayah yang sesungguhnya. Karena, pada hakikatnya hidayah itu hendaknya di jemput, dicari dan ditelusuri keberadaannya. Sehingga, kelak nantinya kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencintai karena Allah. Mengingat, keshalihan timbul karena adanya kesungguhan iman dan kemantapan jiwa.
Begitulah akhir kisah yang sangat indah dari sang pembenci yang kemudian menjadi mencinta karena Allah. Lantas, bagaimana dengan anda? Tentukan pilihanmu, ingin seperti Umar Bin Khattab, atau menjadi pembenci seumur hidup hingga akhir hayat yang kemudian terjerumus dalam kubangan siksa api neraka karena kebencian di hatinya. Semua pilihan ada di tangan anda. Allahualam bi showwab.

program-hamil Previous post Promil dengan Sedekah
Next post Semangkuk Bakso di Awal Tahun Baru Hijriah

4 thoughts on “Membenci untuk Mencinta?

  1. Aku mau seperti umar, semoga saja tidak menjadi pribadi pembenci walaupun membenci masih pada tahap wajar yakni membenci kepada musuh-musuh Allah bukankah harus?

    1. Iya mba harus, untuk tulisan saya ini cakupannya mengenai mereka yang belum mengenal Islam seperti apa, sehingga diharapkan tidak ada lagi Islamophobia karena fitnah2 di luar. Wahhh, terima kasih banyak mbaa masukannya 😍

Leave a Reply

Social profiles