5 tahun hidup bersama, happy 5th wedding anniversary sayaaang. Meski sudah lewat beberapa hari dari tanggal 2 Oktober lalu, namun rasanya sayang banget kalau enggak diceritakan. Yup, tepatnya kami menikah pada 2 Oktober 2015 lalu di Bekasi, berawal dari ta’aruf dan berakhir dengan proses ta’aruf (lagi) seumur hidup.
Lho, kenapa jadi ta’aruf lagi?
Karena bagi saya dan suami, menikah bukan sebagai ‘akhir’ dari pembuktian. Melainkan, awal langkah baru dimana kami akan memulai segalanya secara bersama-sama. Sehingga, proses ta’aruf ini harus terus berjalan seumur hidup. Khususnya dalam mengenali karakter dan watak pasangan. Mengingat, baik buruknya pasangan tentu hanya kita berdua aja kan yang WAJIB tahu, hehe.
Next, seperti biasa tidak ada perayaan spesial di tiap tanggal istimewa bagi keluarga kecil kami, termasuk merayakan hari kelahiran. Mengapa? Kurang lebih, lantaran prinsip juga sih. Akan tetapi, hal itu tidak begitu saja menyurutkan rasa sayang kami satu sama lain. Karena eh karenaaaa, kami menciptakan momen berharga versi kami di waktu yang lain, jadi sifatnya bukan menunggu momentum yang tepat. Pokoknya, tiba-tiba aja gitu, SURPRISE! Wkwkwk.
Lantas, ada cerita apa aja sih dibalik 5 tahun kebersamaan kami? Lebih banyak suka atau dukanya? Berikut ceritanya!
Baca Juga:
- Ini Dia, 4 Hal Penting yang Membuatmu Makin Memahami Pasangan
- Membuat Perencanaan Keluarga, Penting Enggak Sih?
- Pasca Menikah: Intervensi Orangtua, Perlu kah?
Tahun pertama dan kedua: Tentang Penerimaan dan Belajar Bekerja sama
Yup betul banget, penerimaan dan bekerja sama merupakan dua hal yang menjadi poin utama kami saat memulai ini semua secara bersama. Setelah berganti status, bukan soal individu lagi yang menjadi masalah, baik itu tentang ‘aku’ ataupun ‘kamu’ namun lebih tepatnya menjadi tentang ‘kita’. Masalah penerimaan ini bagi kami berdua, bukanlah masalah yang mudah. Mengingat, ego kami saat itu yang masing terbilang tinggi dan enggan rasanya untuk mau mengalah.
Ditambah lagi, tentang kondisi orang tua saya yang kerap ikut campur dalam berbagai hal. Fix, saat itu bikin kami pengen ribut terus bawaannya. Bisa jadi, karena kontrakan yang kami tinggali saat itu sangat berdekatan dengan ortu. Otomatis, apapun itu masalahnya tanpa diceritakan pun akan tahu. Maybe, ada radarnya kali yak, haha. Istilahnya sih gini, kalau dekat ‘bau’ tapi kalau jauh mau apapun itu pasti ‘wangi’. Hingga pada akhirnya, kami pun memilih untuk membeli rumah yang cukup jauh dari ortu saya, sekitar 20 Km. Jelas, cukup solutif lah ya, yang penting hati bahagia dan pikiran waras.
Lantas, kami pun sadar bahwa penerimaan inilah yang kemudian menjadi batu loncatan bagi kami berdua untuk dapat bekerja sama. Utamanya, dalam menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan hidup. Dari sini kami pun paham, saat masing-masing dari kita belajar untuk menerima bukan berarti kita mengalah begitu saja dan kemudian membendung kebencian mendalam di hati masing-masing.
Please, BIG NO ya!
Namun, dari penerimaan ini kami jadi belajar untuk bisa memahami pasangan, mengolah rasa, meminimalisir pertikaian, dan yang paling penting kami jadi tahu bagaimana menyikapi pasangan saat lagi bete biar enggak makin panas kondisinya, wkwkwk. Jujur, ini nih yang bikin saya pribadi khususnya jadi lebih terbuka kalau lagi kesel. Soalnya respon suami makin kesini jadi lebih adem saat menanggapi, otomatis bininya yang lagi bete ini malah jadi terhibur kan, haha. Masya Allah, tabarakallah ya pak.
Tahun Ketiga dan Keempat: Tentang Goals, Mimpi dan Belajar Hidup Prihatin
Saya rasa tiap pasutri pastinya memiliki mimpi dan tujuan hidup yang ingin direalisasikan bersama-sama, bukan? Baik itu, ingin diwujudkan dalam waktu dekat atau bahkan menjadi target yang ingin direalisasikan dalam waktu jangka panjang. Begitupun juga dengan kami berdua, mulai dari mimpi dan target yang realistis, bahkan sampai hal yang tidak realistis sekalipun haha.
Namun, siapa sangka. Justru ada beberapa mimpi dan target yang awalnya kami kira sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat, justru Allah kabulkan dengan begitu cepat. Bisa jadi, ini salah satunya dari rejeki anak kali ya. Karena, jujur di awal pernikahan kami berdua, emang lumayan nyesek banget sih. Mulai dari pindah kontrakan sana-sini (petakan pula), bahkan sampai pernah ditipu oleh developer perumahan dengan embel-embel syariah. Padahal jelas, yang salah itu bukan sistem ataupun konsep syariah-nya, melainkan oknumnya aja yang emang doyan nipu, nyebelin banget sumpah kalau diingat.
Tapi kembali lagi, justru saat ini kami membeli rumah secara syariah tanpa menggunakan perantara Bank pula, Allahuakbar. Dan, hanya Allah pula lah yang sebaik-baiknya Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya.
Lantas, kalau ditanya soal hidup prihatin, saya pikir itu merupakan hal yang wajar kok. Dan semua pasutri tentu mengalaminya juga sesuai dengan jenis ujian hidup yang mereka hadapi. Kelak hal itu bisa menjadi kenangan berarti untuk dijadikan obrolan hangat bersama pasangan di sore hari.
Karena dari keprihatinan ini kami jadi tahu, seberapa besar usaha yang akan dilakukan pasangan untuk bisa merubah nasib (eakkk) begitupun juga penerimaan diri masing-masing untuk mau bersikap legowo serta pantang mengeluh. Jadi, kalau di kemudian hari diuji jadi orang tajir melintir macem Nia Ramadhani udah enggak pake shock culture lagi kek sombong gitu, haha. Setidaknya bisa lebih melihat ke bawah dan banyak berbagi dengan mereka yang benar-benar membutuhkan, aamiin.
Tahun Kelima dan Seterusnya: Menjalani Ujian Hidup Berikutnya
Lima tahun sudah menjalani kehidupan rumah tangga bersama suami. Menginjak tahun keenam ini, jujur saya dan suami jadi berasa lebih santai, enggak mau pake nge-gas kalau lagi marah-marah, dan pengennya lebih rileks aja, alias enggak esmosi berlebih. Meski masih terbilang dini, namun kami merasa bahwa waktu pula lah yang rupanya mendewasakan kami untuk lebih bijak dalam menjalani hidup.
Mengingat segala upaya dan doa telah dikerahkan, sisanya biarlah Allah yang memutuskan. Apakah kami layak untuk memanen hasilnya.
Kedepan, ujian hidup tengah menanti dan makin beragam pula jenisnya. Entah itu tentang pola pengasuhan beserta biaya pendidikan anak, tambah momongan, kesehatan orang tua yang makin menurun, perihal aset/investasi jangka panjang, dan masih banyak lagi. Intinya, selagi bisa dihadapi berdua dan selalu menyertakan Allah didalamnya, saya yakin semuanya pasti bisa dilalui.
Bismillah ya pak, kita pasti bisa! Mohon maaf juga, kalau makin kesini istrimu ini jadi enggak suka yang menye-menye alias yang so sweet gitu deh. Lagian sih, bapak ngelawak mulu, saya kan jadi ngakak terus bawaannya wkwkwk. Gpp kok pak, anggap aja kayak gitu udah romantis, tapi versi kita hahaha.
Sekali lagi, happy 5th wedding anniversary ya sayangkuuuuhh. Semoga aja, kamu dapat hidayah buat intip-intip blogpost aku yang satu ini, haha. Semoga bermanfaat yaa, SALAM WARAS!
Ludy
Ouw ouw selamat 5 tahun bersama!
Iya yaa proses taaruf seumur hidup. Selamat menikmati petualangan dengan keluarga kecilmu, Mbak Ludy