Wah, sudah masuk tahun baru Hijriah nih rupanya. Kira-kira bagaimana dengan resolusi tahun-tahun sebelumnya, apakah sudah tercapai dengan optimal? Lantas, jika belum, yuk kita kembali berbenah diri, menata hati dan mengoptimalisasikan visi misi kita agar tak hanya pencapaian dunia yang diraih, namun selaras dengan pencapaian akhirat sebagai tujuan utama dari kehidupan yang sesungguhnya.
Lalu, apa kaitannya dengan judul di atas? Melihat bakso dan tentu memakannya merupakan hal yang menyenangkan bukan? Pastinya, iya.
Semangkuk bakso di awal tahun baru Hijriyah, merupakan sebuah analogi yang saya maknai sebagai sebuah proses. Mengapa? Karena, umumnya jika kita menikmati semangkuk bakso bahkan lebih tentunya kita dapat dengan mudah mendapati sejumlah penjual bakso di sekitar kita. Namun, khusus hari ini hal yang saya pelajari dari semangkuk bakso ialah sebuah proses. Dimana, di dalam semangkuk bakso tersebut ada campur turut serta langsung saya dan suami dalam proses pembuatannya. Dalam artian, kami membuat bakso, lho hahahaha…
Padahal, di rumah saya tidak memiliki sejenis alat giling atau bahkan food processor dan sebagainya untuk mengolah daging menjadi bakso. Meski demikian, adapun sebelum diolah daging-daging tersebut saya bawa ke tukang giling daging di pasar tradisional yang jaraknya dekat dengan rumah.
Setibanya di tukang giling daging, saya dan suami menitipkan daging untuk digiling ke abang-abang yang bertugas menggiling. Sebelumnya, daging sapi milik saya ditimbang terlebih dahulj lalu si pemilik kios giling daging tersebut mempersiapkan sejumlah bahan untuk ditambahkan ke daging saat digiling nanti sesuai takaran daging yang ditimbang, seperti: bumbu penyedap, garam, tepung terigu, telur, bawang putih dan bahan-bahan lainnya.
Hal tersebut tentunya sangat membantu saya, tanpa harus repot-repot lagi meracik bumbu di rumah. Mengingat, saya memiliki anak balita yang supeeerr aktif, yang jika meleng sedikit bisa-bisa sudah kabur ke luar rumah atau bahkan parahnya mendapati si kecil sedang manjat sambil main kompor gas. Sehingga, benar-benar butuh ekstra perhatian lebih terhadap si kecil.
Sesampainya di rumah, tugas saya dan suami bergantian mencetak bakso menjadi bentuk bulatan-bulatan kecil dalam rebusan air mendidih. Tidak simpel sih, namun setidaknya kami dapat belajar untuk lebih menghargai setiap proses yang di dapat. Enak atau tidak, jelek atau bagus bentukannya, itu semua didasari oleh proses. Pasalnya, dengan kita dapat menghargai sesuatu yang berawal dari proses, maka kita tidak dapat dengan mudah meremehkan segala sesuatu. Mengingat, ada tetes keringat dan jerih upaya yang telah dilakukan.
Itulah sebabnya, kita harus belajar menghargai petani, tukang penjual makanan, penjahit dan siapapun itu yang berkaitan dengan kebutuhan diri kita. Cukuplah dengan senyum, berterima kasih dan membayarkan sesuai yang menjadi hak mereka. Tidak lebih. Meskipun, ada hal yang mengecewakan diri yang timbul dari perilaku mereka, baik itu berupa kurangnya pelayanan dan kebersihan, cukuplah kita menegur baik-baik dengan senyum. Tidak perlu memarahi dan membentaknya apalagi sampai berlaku kasar. Karena, setiap manusia memiliki keinginan untuk dihargai dan secara fitrah menyukai setiap hal-hal kebaikan. Maka, penting dari tiap-tiap kita untuk belajar memahami makna memanusiakan manusia.
Tak lebih, agar hidup kita satu sama lain dilimpahi kasih sayang dan kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga di tahun baru Hijriah ini menjadi titik nol bagi kita semua agar lebih giat mengawali kebaikan dimanapun dan kapanpun, yang didalamnya memiliki nilai manfaat yang lebih serta dapat melahirkan keberkahan yang melimpah untuk kita semua rasakan. Aamiin.