Antara Baper dan Minimnya Empati, Siapa yang Salah?

sikap-empati

Menjaga persahabatan agar tetap awet, faktanya sulit lho. Belum lagi adanya drama baper dan minim empati satu sama lain. Jadi, siapa nih yang salah? Yuk, temukan jawabannya disini!

Membuka tahun 2022 ini, ada salah satu resolusi yang ingin saya wujudkan. Namun, fokusnya bukan pada pencapaian materiil apalagi prestasi yang membanggakan, tetapi lebih pada ketenangan hati dan kesehatan mental salah satunya. 

Entah, sudah ke berapa kalinya saya merasakan kekecewaan dalam hubungan pertemanan. Baik, sejak masa sekolah, hingga bahkan ketika sudah berkeluarga seperti saat ini. Meski demikian, saya tidak akan pernah menyalahkan mereka sepenuhnya, justru diri saya lah yang memang seharusnya banyak mengevaluasi diri. Sekaligus mempertanyakan diri, bukan semata-mata menyudutkan diri atas renggangnya hubungan persahabatan ini.

Tahun 2022 kini, hasrat saya untuk memiliki pertemanan yang mendalam terhadap seseorang rasanya semakin memudar. Meski sebenarnya, saya ingin sekali mempunyai sahabat sesama perempuan yang bisa saling menguatkan dan menasihati dalam kebaikan. Menjadi tujuan pertama -selain suami- untuk mencurahkan perasaan dan berbagi cerita.

Akibat dari kekecewaan yang berlarut ini, sebuah pertanyaan seringkali hinggap dalam benak saya, yakni “apakah mereka yang memang miskin empati atau saya yang baper akut, atau bahkan bisa jadi sebaliknya?”

menyikapi-teman-baper
Credit by pexels.com

Berhari-hari saya merenungi hal itu, hingga membuat pikiran dan konsentrasi saya buyar. Mirisnya lagi sampai membuat hari-hari saya menjadi kelam kelabu. Sepi. Sendiri. Tak ada lagi yang bisa memahami. Pada intinya, saya butuh teman dekat sesama perempuan yang mau dan bersedia untuk saling mendengarkan satu sama lain. Just it!

Namun, tiap kali saya mencoba untuk membuka diri terhadap seorang teman yang dirasa ‘click’, entah kenapa selalu saja tidak bisa bertahan dalam waktu lama.

Saya sadar, bahwa waktu bisa menggerus semua kenangan bahkan melenyapkan kebersamaan. Dan, saya memaklumi itu. Seiringnya waktu yang terus berjalan, akan banyak orang yang terus hadir dan silih berganti masuk dalam kehidupan kita. Entah itu menjadi musuh, sahabat karib atau sekadarnya. Dan, lagi-lagi, saya akan belajar dan berusaha untuk memaklumi itu. Bukan lagi memanipulasi diri.

Tentang Saya yang Memilih Untuk Abai

Saya menyebutnya dengan istilah masa bodo. Semata-mata guna meyakinkan diri bahwa sikap menyenangkan/tidak menyenangkan yang diperlihatkan semua orang saat berinteraksi dengan saya tidak seharusnya menjadi pikiran yang berlebih. Simpelnya, anggap saja semuanya angin lalu. Toh, saya sudah terlalu capek untuk terus membatin sejak dulu, jadi percuma rasanya jika saya menghabiskan waktu hanya untuk selalu membatin sepanjang hari.

Menjelang usia 30, pandangan saya terhadap segala hal rasanya jadi B aja. Tidak lagi bernilai istimewa. Mengingat, hati saya sudah lelah berharap pada manusia, terkecuali pada Allah yang Maha Membolak-balikkan hati. Bukan berarti saya mengharap pamrih, hanya saja saya manusia biasa yang kadangkala berharap untuk mendapat perlakuan yang sama dari orang yang sama. Sehingga, ketika yang terjadi justru sebaliknya, hati saya rasanya sakit sekali, kemudian berakhir dengan kekecewaan berlebih.

Dalam hati, saya sempat berujar, mungkin Allah cemburu, tatkala melihat saya lebih mempedulikan makhlukNya ketimbang penciptanya. Sehingga, selalu saja ikatan pertemanan yang saya jalin bisa dipastikan berjalan dramatis hingga berakhir pilu. Mungkin, seperti ini caraNya agar saya mengutamakan Allah terlebih dahulu, sebelum memprioritaskan hal yang lain.

Dari hal ini saya jadi belajar untuk abai terhadap orang lain yang jelas-jelas berada di luar kendali saya. Berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikan pikiran-pikiran negatif dalam diri dengan memvalidasinya terlebih dahulu. Tanpa harus memanipulasi diri bahwa, “saya baik-baik saja.”

Cerdas Menyikapi Perbedaan Pilihan

sikap-baper
Credit by pexels.com

Saya akui dari hati yang terdalam, bahwa saya tidak ingin menjadi seorang pembenci. Namun, pada satu titik saya pernah dihadapkan untuk merasakan yang namanya membenci seorang teman. Berhari-hari saya merasakan kebencian itu, padahal sebelumnya saya dan seorang teman ini sebut saja A, tidak memiliki konflik yang berat. Hingga kemudian, saya memutuskan untuk menjaga jarak padanya dengan tidak berkomunikasi. Dan, hal yang sama pun berlaku, tanpa diminta dia juga memutus jalinan komunikasi di antara kami.

Dari kondisi ini saya sadar, bahwa saya menaruh harapan atau ekspektasi berlebih pada si A dalam hubungan pertemanan ini. Sangat berharap agar dia bisa satu frekuensi dengan saya dalam segala hal. Kendati pada kenyataannya, si A justru punya pilihan sendiri dalam menilai sebuah pertemanan berdasarkan definisinya. Melihat itu, jelas sudah, bahwa saya tidak ingin memaksakan pilihannya untuk bersikap sesuai dengan apa yang saya harapkan dari sebuah pertemanan.

Dalam diam, saya memutus korelasi ‘keakraban’ kami berdua. Dan berusaha untuk mengevaluasi diri bahwa dari awal memang saya yang bersalah karena menaruh harapan lebih dalam ikatan pertemanan ini, yang meski pernah dia akui bahwa saya dan A punya banyak kesamaan serta visi yang sama. Sehingga, ketika ada hal yang menurut saya tidak sreg dari si A dengan mudahnya saya bisa merasa kecewa. 

Terlepas dari itu, saya tegaskan bahwa saya bukan tipe orang yang posesif. Hanya saja, saya suka merasa sedih ketika saya sudah memberikan threat yang baik kepada seorang teman dekat, namun dia tidak berupaya untuk melakukan hal yang serupa, maka kalimat yang pantas untuknya ialah, “BYE…”

Bijak Menyikapi Berbagai Pilihan 

Dewasa ini saya dan kita semua mempunyai banyak pilihan untuk memilih. Entah itu, pilihan yang bernilai positif atau bahkan negatif. Karena, sejatinya tiap pilihan yang kita putuskan mengandung risiko. Jadi, menurut hemat saya saat ini, mencoba bijak dengan tidak memaksakan kehendak kita kepada seseorang adalah pilihan yang tepat.

Mengingat, hidup yang kita jalani saat ini amat dinamis dan kerap disuguhi oleh berbagai hal yang justru tidak kita sukai. Jadi daripada terus-terusan menambah beban pikiran, ada baiknya untuk kita menurunkan ego dan bersikap asertif saat menyikapi pilihan seseorang. Just relax and keep calm!

Belajar Bodo Amat

Berusaha boda amat saat dihadapkan dengan segala kondisi yang tidak kita sukai itu penting banget. Semata-mata demi menjaga kewarasan agar tetap berada di jalur yang semestinya. Karena, jika kita terlalu peka dengan terus menerus memikirkan hal yang sifatnya remeh temeh, justru hanya akan menjatuhkan mental kita sebagai seorang individu. Jadi, yaudah lah yaaa, anggap aja enggak penting!

Bersikap Baik Bukan untuk Caper

Setelah melalui berbagai ujian dan tempaan yang berulang, saya membuat sebuah kesimpulan sederhana, yakni niatkan dari awal untuk bersikap baik karena kita adalah individu yang baik, bukan semata-mata untuk cari perhatian (caper) atau bahkan mencari penilaian dari setiap orang.

Membagikan positive vibes yang kita miliki pada orang-orang sekitar itu perlu lho, dengan tetap menjadi diri sendiri. Bukan diniatkan untuk pencitraan apalagi caper, CATET YA!

Jangan Ragu untuk Speak Up

Perihal speak up, saya pun juga masih belajar. Karena untuk bisa berterus terang dengan tegas tanpa perlu menyakiti, faktanya sangat sulit. Enggak semua orang bisa terima masukkan atau uneg-uneg kita. Jadi, kalau saya pribadi, simpelnya mesti observasi dulu seperti apa kepribadian orangnya. Kalau dia enggak masalah untuk hal-hal yang berbau advice atau suggest, yo wes lanjutkan. 

Tapi jika sebaliknya, buatlah jeda waktu dan sampaikan dengan cara khusus yang tidak terburu-buru. Santai namun tepat sasaran, enggak perlu pakai cara yang serius-serius banget. Sing penting, maksud kita sudah tersampaikan dan berkurang pula sedikit beban pikiran. Bisa lho sambil bercanda-canda dengan bahasa yang ringan namun tetap fokus pada poin utama.

Hindari Toxic Positivity Demi Kewarasan Diri

Makin kesini, saya lebih memilih untuk menjadi pendengar yang baik. Dengan turut berempati dan memberi ‘ruang’ pada seorang teman yang mendatangi saya untuk membagikan kisahnya. Daripada harus menjadi seorang penyemangat atau penasihat. Karena, jujur saja, saat mendengar kalimat-kalimat positif yang beberapa teman lontarkan tiap kali saya curhat justru hanya membuat saya makin stress. Mungkin, bisa jadi karena toxic positivity.

Toxic positivity sendiri merupakan kondisi seseorang yang hanya fokus pada hal-hal positif dan menolak apapun yang dapat memicu emosi negatif (Lukin, 2019). Itu berarti, kalimat positif yang disampaikan ini tidak mampu memberi arti positif yang sebenarnya. Karena, tidak semua kalimat positif dapat membuat diri bahkan seseorang bisa segera move on dari masalahnya. Malah sebaliknya, dapat memperburuk psikis seseorang pada beberapa kondisi.

Makanya, saya suka bete duluan, kalau ada seorang teman yang niatnya sih baik ingin menyemangati tapi kalau redaksinya kayak gini, “Tenang aja, all is well, sist. Ini sih masalah biasa kok. Kamunya aja yang terlalu lebay mikiran. Gue udah sering lho ngadepin yang kayak gini, malah lebih berat masalahnya daripada lo.” Fix, maaf-maaf aja nih, langsung saya blacklist dari daftar pertemanan.

Conclusion

Saya pribadi lebih membutuhkan seorang teman yang bisa menguatkan dengan rasa empati. Tidak hanya sekadar menguatkan dengan kalimat positif, namun juga bisa memahami bagaimana permasalahan dan perasaan yang tengah saya rasakan. Namun sayangnya, enggak semua orang punya sikap empati untuk bisa peduli terhadap sesamanya.

Oleh sebab itu, sebelum saya bercerita kepada seorang teman dekat, saya berusaha untuk memvalidasi emosi negatif ataupun emosi positif terlebih dahulu dengan menerima segala emosi yang tengah saya rasakan. Tidak dengan memendamnya, namun menerimanya dengan penuh kesadaran, sehingga perlahan-lahan saya bisa terbuka dengan emosi itu.

Baru kemudian, saya mencari cara yang tepat untuk bisa mengekspresikan emosi saya pada beberapa hal, entah itu dengan bercerita pada sahabat, menulis, atau dengan olahraga.

Pasalnya, kita adalah manusia biasa, yang terkadang bisa merasa sedih, namun juga bisa merasa senang. Sehingga, penerimaan berbagai bentuk emosi dalam diri harus kita hadapi dengan perlahan dan jangan biarkan emosi negatif menguasai kita. Intinya sih, kalau memang lagi sedih, please deh enggak usah sok tegar, apalagi kalau sampai memanipulasi diri dengan bilang, “saya baik-baik saja,” dijamin deh, makin enggak tenang.

Demikianlah catatan self healing saya kali ini. Tak mengapa jika hari ini kita bersedih, namun esok senyum yang tulus harus hadir menghiasi wajah kita. Semoga bermanfaat untuk teman-teman semua, have a nice day, SALAM WARAS!

Ludy

ASUS-OLED Previous post Hidup Tidak Lagi Monoton, Makin Produktif Bersama ASUS OLED
Next post Makin Fokus Berkendara dengan Kratingdaeng Red Bull

Leave a Reply

Social profiles