Perubahan Iklim Ekstrim Bikin Bumi Makin Memanas, Serius?!

global-warming

Gawat, bumi makin memanas! Nyatanya perubahan iklim ekstrim inilah yang menjadi dalang dibalik fenomena gelombang panas ini. Mirisnya lagi, kondisi ini juga dibenarkan oleh laporan IPCC 2021 yang didalamnya menyatakan kode merah untuk kemanusiaan. Lantas, seperti apa sih faktanya? Yuk, cari tahu disini!

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat misuh-misuh di media sosial, lantaran panasnya kota Bekasi yang na’udzubillah, asli gak tahan. Bawaannya pengen ngadem terus di rumah, sambil ngunyah batu es dan nyalain kipas seharian, haha. Dalam hati, saya membatin “Oh Tuhan, mengapa kondisi bumi makin memanas? Sungguh, panasnya dunia gara-gara global warming saja aku tak kuat, bagaimana di akhirat nanti kalau mesti singgah dulu di neraka, huhu.”

climate-change

Namun, dibalik itu, saya tak lupa pula untuk bersyukur atas turunnya hujan di Bekasi beberapa hari ini. Senang sekali rasanya melihat bumi diguyur hujan setelah panas gersang melanda dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun, jika diperhatikan baik-baik, perubahan iklim yang dialami bumi hingga detik ini tampak semakin ekstrim dan tidak lagi sesuai periodenya.

Mirisnya lagi, fenomena global warming ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di seluruh negara di dunia. Krisis iklim ini nyata gaes, enggak main-main. Karena dampaknya pun bukan lagi tertuju pada planet bumi saja, tapi seluruh penghuni bumi lainnya juga turut merasakan dampak global warming ini.

Lantas, sangat wajar bukan, jika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mensinyalir “Kode Merah” untuk kemanusiaan sebagai alarm untuk kondisi bumi saat ini?!

Baca Juga: Stop Food Waste, Cara Saya Wujudkan Mitigasi Perubahan Iklim dari Rumah

Laporan IPCC: Kode Merah untuk Kemanusiaan Akibat Perubahan Iklim Ekstrim

Jumat (15/10/2021) kemarin, alhamdulillah sekali akhirnya saya bisa berkumpul lagi via online dalam momen gathering Eco Blogger Squad yang tiap pertemuannya rutin membahas masalah dan isu-isu lingkungan terbaru. Jujur saja, saya pribadi merasa beruntung sekaligus tercerahkan dengan adanya gathering ini.

Terlebih, topik yang dibahas pada pertemuan kemarin sangat related dengan laporan IPCC baru-baru ini terkait perubahan iklim ekstrim. Utamanya, sinyalir kode merah untuk kemanusiaan. Bersama narasumber Anggalia Putri Permatasari atau kerap disapa Kak Anggi selaku Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, saya dan teman-teman EBS lainnya dibawa lebih dalam untuk larut menyelami laporan IPCC ini sebagai kondisi kritis pada bumi dan dampaknya bagi kemanusiaan saat ini.

Berawal dari laporan Panel Antar Negara tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis pada Agustus 2021 lalu dan ramai menjadi headlines di berbagai media di seluruh dunia. Dalam laporan yang berjudul AR6 Climate Change 2021: The Physical Science Basis dari Working Group I IPCC, disebutkan bahwa emisi gas yang membuat suhu bumi meningkat saat ini kemungkinan akan mencapai batas yang telah ditetapkan hanya dalam kurun waktu 10 tahun.

Baca Juga: Lestarikan Hutan Indonesia untuk Iklim yang Lebih Baik

global-warming
Credit by www.wwf.id

Pasalnya, jika kenaikan suhu global mencapai 1,5 derajat Celcius, maka periode musim kemarau menjadi lebih panjang serta musim dingin akan jadi lebih singkat, dan diperparah dengan adanya gelombang panas yang akan makin sering terjadi. Ditambah, semakin intensnya siklus air yang dapat berdampak pada curah hujan yang lebih tinggi hingga menimbulkan banjir.

Sejumlah Fakta Menarik Dalam Laporan IPCC 2021

Kondisi perubahan iklim ini makin dipertegas dengan laporan IPCC yang menyebut bahwa hujan lebat yang umumnya terjadi sekali dalam satu dekade kini menjadi 30% makin sering. Contohnya, seperti banjir di Belgia dan Jerman, dimana keduanya merupakan hasil dari curah hujan yang turun selama 12 jam saja. Kondisi serupa juga terjadi pada kekeringan, dimana secara global, kekeringan yang umumnya terjadi sekali dalam 10 tahun kini menjadi 70% makin sering.

Jelas, dengan adanya bukti ilmiah yang dipaparkan ini, sangat wajar rasanya jika para peneliti dan PBB mensinyalir kode merah untuk kemanusiaan. Mengingat, perubahan iklim saat ini bukan lagi membahas tentang perubahan suhu bumi, tetapi prosesnya pun juga turut mempengaruhi kemunculan fenomena lain, seperti kebakaran hutan, penurunan kadar pH air laut, dan gelombang panas.

Dimana, ketika fenomena ini terjadi tentu sangat mempengaruhi keselamatan serta eksistensi manusia dan keragaman makhluk hidup lainnya. Bahkan, tidak dipungkiri pula dapat berpotensi menimbulkan banyak kerugian, mulai dari materi, ketersediaan pangan yang terbatas, sedikitnya pasokan air bersih, hingga mengancam jiwa. Fix, dampaknya ngeri banget, sumpah!

Indonesia, Bisa! Generasi Muda Juga Bisa Siasati Perubahan Iklim

Ada dua aja, yang pertama dari sekarang (tahun 2021) sampai kedepan, emisi global harus turun enggak boleh naik. Dan tahun 2050, kita harus mencapai sebuah kondisi yang namanya net-zero emissions.

Kak Anggi, Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan.

Banyak sekali insight menarik yang saya catat sekaligus rangkum dari pemaparan Kak Anggi saat gathering kemarin. Salah satunya, terkait dengan net-zero emissions atau kerap disebut NZE yang dijelaskan sebagai upaya menyeimbangkan antara jumlah emisi yang dilepaskan ke atmosfer dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca melalui penanaman pohon, memulihkan ekosistem, serta laut. Diharapkan, melalui adanya proses penyerapan emisi ini dapat tercapai kondisi NZE guna mengurangi dampak perubahan iklim.

Terlebih, Kak Anggi juga menambahkan, bahwa Indonesia harus effort terhadap perubahan iklim. Hal ini berdasarkan Global Report, Climate Risk Country yang dibuat oleh World Bank, menyebut bahwa kondisi Indonesia kini tidak lagi dalam level rentan, melainkan sudah sangat rentan, “high vulnerable” terhadap dampak krisis iklim. Utamanya, pada empat kondisi ini, yakni:

  • Banjir dan kekeringan
  • Kenaikan muka air laut
  • Perubahan pola curah hujan
  • Kenaikan suhu.

Generasi Muda Indonesia, Yuk Lakukan Ini!

Oleh sebab itu, dalam kondisi ini manusia, khususnya generasi muda memegang peranan penting dalam mengurangi sekaligus mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim ekstrim ini di tahun-tahun mendatang. Semata-mata guna membatasi peningkatan suhu sebelum bumi dinyatakan tidak layak lagi untuk ditempati. Jadi, generasi muda bisa apa nih? Yuk, simak baik-baik ilustrasi di bawah ini!

climate-change

Adapun, poin menarik dari ilustrasi di atas ialah tentang eat less meat, kayak why gitu lho? Sampai kita harus mengurangi konsumsi daging. Padahal kan, daging ini merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik dikonsumsi oleh tubuh dalam jumlah normal.

Dan, ternyata oh ternyata, dibalik itu tersimpan sebuah alasan yang erat kaitannya dengan krisis iklim saat ini. Dimana, pada salah satu artikel National Geographic Indonesia disebutkan, Food and Agriculture Organization (FAO) merilis hasil penelitian mereka yang mengungkapkan bahwa daging sapi merupakan penghasil terbesar emisi gas rumah kaca paling intensif sebesar 18%, which is angka ini dinilai melebihi emisi seluruh kendaraan bermotor di dunia jika dijumlahkan.

Disamping itu, guna mengatasi krisis iklim yang terjadi saat ini, Indonesia secara aktif juga turut berkontribusi dalam COP26 bersama sejumlah negara lainnya yang akan diadakan pada November 2021 mendatang. Dimana, dalam pertemuan itu terdapat empat topik utama yang diusung, yaitu: coal, cars, cash, and trees.

Otomatis, melalui adanya pertemuan COP26 ini Indonesia diharapakan untuk berhenti menggunakan batubara & beralih ke energi bersih terbarukan (seperti, tenaga surya, angin dll). Lalu, berupaya dalam melindungi hutan alam yang tersisa dengan berusaha menekan laju deforestasi. Terlebih, jangan melakukan alih fungsi lahan dengan membuka gambut dan karhutla. Dan, yang paling penting ialah bekerja keras untuk melakukan restorasi & rehabilitasi ekosistem alam, termasuk hutan, mangrove, dan gambut.

Kita pun, sebagai manusia juga tak luput dari situasi ini. Dengan cara turut beradaptasi pada kondisi krisis iklim yang terjadi kini, utamanya untuk kelompok rentan. Saya pribadi yakin, Indonesia pasti BISA atasi perubahan iklim ekstrim ini, asal kita semua konsisten, agresif, dan dilakukan dalam skala luas. Yuk, bisa yuk!

Semoga catatan saya kali ini bermanfaat ya teman-teman. Hemat saya, mulailah dari hal-hal terkecil untuk menyelamatkan bumi kita dari kerusakan. Save our planet, SALAM WARAS!

Baca Juga: 5 Fakta Tragis Dibalik Kebakaran Hutan dan Lahan

Ludy

Sumber:

  • Bahan Materi Eco Blogger Squad by Yayasan Madani Berkelanjutan – Bumi Semakin Panas Kode Merah untuk Kemanusiaan
  • https://waste4change.com/blog/kode-merah-perubahan-iklim-dan-manajemen-sampah/
  • https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58146664
stop-food-waste Previous post Stop Food Waste, Cara Saya Wujudkan Mitigasi Perubahan Iklim dari Rumah
biofuel Next post Pengembangan Biofuel dari Kelapa Sawit, Apakah Sustainable?

Leave a Reply

Social profiles